Besarnya kedudukan tetangga dalam ajaran Islam ini hingga Allah Ta’ala gandengkan wasiat berbuat baik kepada tetangga dengan perintah yang paling agung, yaitu menauhidkan Allah Ta’ala dan menjauhkan diri dari menyekutukan-Nya. Sungguh ayat ini merupakan dalil paling jelas yang menunjukkan betapa tingginya kedudukan tetangga dan besarnya hak mereka.
Wasiat menjaga hak tetangga ini juga disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadisnya yang mulia,
“Tidak henti-hentinya Jibril memberikan wasiat kepadaku tentang tetangga sehingga aku menduga bahwa ia akan memberikan warisan kepadanya.” (HR. Bukhari no. 6014 dan Muslim no. 2624)
Saudara-saudaraku yang dirahmati Allah Ta’ala. Baik dalam bertetangga merupakan salah satu perkara pertama yang didakwahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dahulu kala, ketika kaum muslimin hijrah ke negeri Etiopia, Raja Najasyi mengajak diskusi sahabat Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Dalam diskusi tersebut Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Wahai raja, sesungguhnya sebelum Islam datang, kami merupakan kaum jahiliyyah yang menyembah patung-patung, memakan bangkai, dan melakukan perbuatan-
perbuatan keji. Memutus hubungan silaturahmi, berbuat buruk kepada tetangga, dan bahkan orang yang kuat di antara kami menindas orang yang lemah. Hingga kemudian Allah utus kepada kami seorang Rasul dari kalangan kami, seorang rasul yang kami ketahui nasabnya, kejujurannya, amanahnya, dan kesuciannya.
Lalu, kemudian beliau mengajak kami untuk menauhidkan Allah Ta’ala, memerintahkan kami untuk jujur dalam berucap, amanah dalam bertindak, menyambung silaturahmi, dan berbuat baik kepada tetangga.”
Berbuat baik kepada tetangga merupakan wasiat yang diteruskan turun temurun antara satu generasi ke generasi yang berikutnya. Dari zaman Nabi, para sahabat, hingga generasi tabiin, dan tabiut tabi’in radhiyallahu ‘anhum jami’an.