Oleh:
Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M
(Dosen Hukum Internasional, Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan, Pusakademia)
JAMBI, Beritategas.com – Ketegangan berkepanjangan antara Israel dan Palestina kembali mendorong dunia internasional mencari solusi konkret menuju perdamaian yang berkelanjutan. Salah satu usulan yang kini mengemuka dalam proposal gencatan senjata adalah pembentukan pasukan perdamaian PBB yang akan ditempatkan di wilayah Gaza, dengan dukungan dari sejumlah negara termasuk Indonesia.
Salah satu butir penting dari proposal gencatan senjata Israel–Palestina yang tengah dibahas di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) adalah pembentukan pasukan perdamaian PBB yang akan ditempatkan di Gaza dan Tepi Barat. Gagasan ini muncul untuk menjamin keberlanjutan gencatan senjata, mengamankan distribusi bantuan kemanusiaan, dan menjadi jembatan menuju proses perdamaian jangka panjang.
Dalam Sidang Majelis Umum PBB (UNGA) beberapa waktu lalu, Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menyatakan kesiapan Indonesia berpartisipasi aktif, termasuk mengirimkan kontingen TNI sebagai bagian dari pasukan perdamaian di Palestina.¹
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menyatakan komitmen serupa. Prancis, bersama Amerika Serikat, bahkan tengah menyiapkan draf resolusi untuk pembentukan pasukan penjaga perdamaian di Gaza.²
Sikap Indonesia tersebut sejalan dengan amanat Pembukaan UUD 1945 untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, sekaligus menegaskan kembali tradisi panjang diplomasi Indonesia di panggung PBB.
Dasar Hukum Pasukan Perdamaian PBB
Meskipun Piagam PBB tidak secara eksplisit menyebut istilah peacekeeping operations, dasar hukumnya dapat ditelusuri dari Bab VI dan Bab VII Piagam PBB. Bab VI mengatur tentang penyelesaian sengketa secara damai (Pacific Settlement of Disputes), sedangkan Bab VII memberikan kewenangan kepada Dewan Keamanan untuk mengambil langkah-langkah demi menjaga atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.³
Pasukan perdamaian kemudian berkembang sebagai practice of the United Nations berdasarkan resolusi-resolusi Dewan Keamanan, yang menggabungkan elemen mediasi (Bab VI) dan tindakan koersif terbatas (Bab VII). Oleh karena itu, pasukan perdamaian kerap disebut sebagai Bab VI½ (Chapter Six and a Half) — berada di antara mediasi diplomatik dan intervensi militer.⁴
Dasar hukum spesifik pembentukannya bersumber dari Pasal 39, 41, dan 42 Piagam PBB, yang memberi wewenang kepada Dewan Keamanan untuk menentukan adanya ancaman terhadap perdamaian dan mengambil langkah yang diperlukan, termasuk penempatan pasukan multinasional di bawah bendera PBB.⁵
Urgensi Pembentukan Pasukan Perdamaian di Gaza
Pembentukan pasukan perdamaian PBB di Gaza memiliki arti strategis dan moral yang mendalam bagi tatanan hukum internasional. Selama lebih dari tujuh dekade, konflik Israel–Palestina telah menunjukkan kegagalan pendekatan politik tanpa jaminan keamanan di lapangan.
Kehadiran pasukan perdamaian di Gaza nantinya akan berfungsi sebagai penyangga keamanan (buffer zone) antara pasukan Israel dan kelompok bersenjata Palestina, mencegah pelanggaran gencatan senjata, dan memastikan akses aman bagi bantuan kemanusiaan internasional.
Lebih jauh, pasukan ini akan menjalankan fungsi pengawasan (monitoring) terhadap pelaksanaan gencatan senjata, perlindungan warga sipil, pengamanan fasilitas publik vital, serta membantu rekonstruksi dan rehabilitasi wilayah Gaza.
Dalam konteks hukum humaniter internasional, keberadaan peacekeepers juga akan memperkuat mekanisme protection of civilians dan membantu investigasi terhadap potensi pelanggaran berat hukum perang.
Dengan mandat yang jelas, misi perdamaian di Gaza dapat menjadi titik balik diplomasi internasional: dari sekadar kecaman dan resolusi politik, menuju tindakan konkret yang melindungi nyawa manusia dan menegakkan prinsip kemanusiaan universal.
Pembentukan dan Mandat Pasukan Perdamaian
Pembentukan pasukan perdamaian melalui tiga tahapan:
1. Penetapan Mandat oleh Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang menetapkan mandat misi, wilayah operasi, serta kewenangan penggunaan kekuatan.
Mandat bisa bersifat: Traditional peacekeeping (Chapter VI): mengawasi gencatan senjata dan mendukung negosiasi politik, dan/atau Robust peacekeeping (Chapter VII): melindungi warga sipil dan menegakkan perdamaian dengan penggunaan kekuatan terbatas.
2. Kontribusi Personel oleh Negara Anggota. Negara anggota mengirimkan pasukan militer, polisi, dan staf sipil atas dasar sukarela. Mereka tetap di bawah komando nasional, tetapi dalam pelaksanaan misi berada di bawah operational control Sekretaris Jenderal PBB melalui Department of Peace Operations (DPO).⁶
3. Koordinasi dan Pelaporan. Sekretaris Jenderal melaporkan perkembangan misi secara berkala kepada Dewan Keamanan untuk memastikan kesesuaian mandat dan situasi lapangan.
Secara umum tugas utama pasukan perdamaian mencakup: menjaga gencatan senjata, memfasilitasi dialog politik, melindungi warga sipil, mendukung pelaksanaan pemilu, serta membantu rekonstruksi dan reformasi sektor keamanan (Security Sector Reform).
Misi-Misi Pasukan Perdamaian PBB
Sejak 1948, PBB telah membentuk lebih dari 70 misi perdamaian, dengan 12 misi aktif hingga kini.⁷ Beberapa di antaranya yang bersejarah:
1. UNTSO (United Nations Truce Supervision Organization, 1948) – misi pertama PBB, ditempatkan di Timur Tengah termasuk Palestina, untuk memantau gencatan senjata antara Israel dan negara-negara Arab.
2. UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon, 1978–sekarang) – memantau penarikan pasukan Israel dari Lebanon dan mendukung Angkatan Bersenjata Lebanon.
3. MONUSCO (United Nations Organization Stabilization Mission in the Democratic Republic of the Congo) – salah satu misi terbesar dengan mandat perlindungan warga sipil dan stabilisasi pasca-konflik.
4. UNMISS (United Nations Mission in South Sudan) – membantu implementasi perjanjian perdamaian dan melindungi warga sipil.
5. MINUSCA (Central African Republic) dan MINUSMA (Mali) – misi di Afrika Barat dan Tengah dengan mandat pemulihan pemerintahan sipil dan keamanan.
Kontribusi Indonesia dalam Peacekeeping
Indonesia termasuk 10 besar negara penyumbang pasukan perdamaian PBB (Top 10 Troop-Contributing Countries).⁸ Hingga Oktober 2025, tercatat lebih dari 2.700 personel TNI–Polri tergabung dalam berbagai misi di bawah bendera Kontingen Garuda (Konga), antara lain:
1. UNIFIL (Lebanon) – Konga XXIII, dengan personel terbanyak dan prestasi tinggi, termasuk keberhasilan membangun Indobatt Camp.
2. MONUSCO (Kongo) – misi di daerah konflik timur Kongo.
3. MINUSCA (Republik Afrika Tengah) – fokus pada perlindungan warga sipil.
4. UNMISS (Sudan Selatan) – mendukung stabilisasi dan perlindungan kemanusiaan.
5. UNAMID (Darfur) – misi gabungan PBB–Uni Afrika yang telah berakhir pada 2020.
Selain aspek militer, Indonesia juga aktif mengirimkan female peacekeepers, menjadikan Indonesia pelopor partisipasi perempuan dalam perdamaian global di kawasan Asia Tenggara.
Refleksi: Peacekeeping sebagai Jalan Tengah
Gagasan pembentukan pasukan perdamaian PBB di Palestina mencerminkan upaya kompromi antara kepentingan politik dan kebutuhan kemanusiaan. Namun, keberhasilan misi ini sangat bergantung pada kejelasan mandat dan dukungan politik internasional.
Apabila resolusi ini disetujui, maka misi tersebut akan menjadi misi perdamaian pertama di wilayah Palestina sejak UNTSO (1948) — sebuah momen bersejarah yang dapat membuka jalan bagi two-state solution yang realistis dan berkeadilan.
Dalam konteks ini, Indonesia memiliki posisi strategis: reputasi baik di dunia peacekeeping, komitmen konstitusional terhadap perdamaian dunia, serta kedekatan diplomatik dengan dunia Islam dan Barat.
Pasukan perdamaian bukanlah sekadar simbol militer, melainkan instrumen moral dan hukum internasional untuk menegakkan kemanusiaan. Karena itu, keikutsertaan Indonesia dalam misi ini akan menjadi manifestasi konkret dari prinsip bebas aktif — bukan netralitas pasif, tetapi keterlibatan aktif demi perdamaian yang adil dan bermartabat.
Catatan Kaki
1. Pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-79, New York, 2025.
2. CNN Indonesia, “Prancis-AS Bakal Sodorkan Draf Resolusi ke PBB soal Pasukan Gaza”, 24 Oktober 2025.
3. Charter of the United Nations, Chapter VI & VII, Articles 33–51.
4. Nigel D. White, Keeping the Peace: The United Nations and the Maintenance of International Peace and Security, Manchester University Press, 1997, halaman 54.
5. Charter of the United Nations, Articles 39, 41, and 42.
6. United Nations Department of Peace Operations (DPO), Peacekeeping Operations Principles and Guidelines (Capstone Doctrine), 2008.
7. United Nations Peacekeeping, List of Peacekeeping Operations 1948–2025, www.un.org/en/peacekeeping
8. United Nations Peacekeeping Statistics, Troop and Police Contributors by Country, 2025.
Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman













