Larangan Mendebat Orang Tua
Masih dalam ayat yang sama, surah al-Isra; 23, al-Quran menjelaskan adab dalam berbicara dengan orang tua,
“… maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” (QS. Al-Isra’: 23)
Kaum muslimin Rahimakumullah.
Dari sinilah kita mendapatkan satu faedah, bahwa di antara kelembutan dan keindahan bahasa al-Quran, ketika melarang perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, kita semua dilarang mengucapkan kata “Uff”.
Berkata Uff secara pelan-pelan saja tidak boleh, membantah dengan kata paling lemah saja dilarang, apalagi sampai membentak, menghardik, mengumpat, atau dengan ketus berani mendebat mereka.
Hati mereka pasti tersayat-sayat, saat anak yang mereka ajari bicara sewaktu kecil, begitu tumbuh dewasa, justru menggunakan kefasihan lidahnya untuk menyudutkan mereka. Astaghfirullah Al-‘Adzhiim.
Tetap Merendah Meski Telah Sukses
Masih erat kaitannya dengan poin di atas tentang larangan berdebat dengan orang tua. Anak yang sudah sukses, walaupun memiliki segudang prestasi, harta dan tahta yang tinggi, tetap harus merendah dan mengalah di hadapan orang tuanya.
Ia harus merendahkan kepak sayap kesuksesan hidupnya di hadapan ayah bunda yang menjadi sebab utama kesuksesan itu.
Allah subhanahu wata’ala berfirman,
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Rabbku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” (QS. Al-Isra’: 24)
Wa akhfidh la humā, artinya: dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya.
Hal menarik dalam ayat ini, saat kita diperintahkan untuk tunduk kepada orang tua, terdapat kata janāh yang artinya sayap. Secara eksplisit Allah berfirman, rendahkanlah kepak sayapmu.
Para ulama menyebutkan bahwa maksudnya adalah tawaduk dan lemah lembut dalam bergaul.
Pembaca rahimakumullah, seekor burung, ketika hendak memukul lawan atau menyerang mangsanya, ia tinggikan sayapnya terlebih dahulu. Nah, seorang anak yang sudah tumbuh dewasa, dilarang ‘mengepakkan dan mengangkat sayapnya’ di hadapan orang tua, karena itu termasuk simbol perlawanan terhadap mereka.
Menurut ust. Sadam, seorang anak yang sudah berjaya, tidak diperbolehkan merasa lebih hebat dari kedua orang tuanya, apalagi sampai menyombongkan diri.
Masyarakat Nusantara mengenal dongeng Malin Kundang dari Sumatera Barat, si anak durhaka yang dikutuk jadi batu karena menyakiti hati ibu.
Dalam sejarah peradaban Islam, kita mengenal sosok Abu Hanifah dari Kufah. Meski sukses dan sudah jadi orang hebat, ia tetap sayang dan rendah hati pada ibunya.
Alkisah, suatu ketika, sang ibu minta diantarkan ke rumah Umar bin Dzar untuk meminta fatwa. “Biar aku saja yang memberi fatwa kepadamu, duhai Ibunda.” Kata Abu Hanifah pelan. Tetapi sang ibu menolak, “Tidak. Aku mau minta fatwa kepada Umar bin Dzar.” Maka Abu Hanifah menuruti permintaan sang ibu.
Ditemaninya ke rumah Umar dengan menaiki keledai.
Umar bin Dzar pun dibuat kaget. Apa tidak salah seorang imam datang kepadanya untuk meminta fatwa? “Bagaimana mungkin aku bisa memberi fatwa, sementara engkau berada di sini?” tanya Umar. “Tidak masalah. Ini demi permintaan ibuku.” Jawab Abu Hanifah.
Kaum muslimin Rahimakumullah.
Lihatlah bagaimana sikap Abu Hanifah terhadap ibunya. Seorang imam yang agung, ahli fikih paling disegani, semua orang takzim kepadanya. Dan ia memilih untuk sabar, menuruti apa maunya sang ibu, tidak menyombong, merendahkan diri. Semua itu karena rasa sayangnya pada sang ibu.
Masyaallah. Alangkah mulia akhlakmu wahai imam. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari teladan birrul walidain yang agung ini dan tidak menyia-nyiakan waktu bersama kedua orang tua kita. Ust. Sadam mengajak mkita semua, “Mari kita bersama-sama berbakti kepada kedua orang tua kita agar kita mendapatkan ridha Allah, karena ridho nya Allah terletak pada ridho kedua orang tua”, ujarnya.
Pewarta: A.Erolflin
Editor: Firman