Serangan Israel ke Iran: Pelanggaran Terang-Terangan terhadap Hukum Internasional

JAMBI, Beritategas.com – Dalam setiap konflik bersenjata, hukum internasional mengatur batasan yang ketat: siapa yang boleh diserang, kapan, dan atas dasar apa. Serangan Israel ke Iran tidak hanya mempertanyakan legalitas penggunaan kekuatan secara sepihak, tetapi juga menguji ulang keberlakuan prinsip-prinsip dasar dalam hukum humaniter internasional. Apakah serangan ini benar-benar memenuhi unsur “pembelaan diri”? Atau justru melanggar prinsip proporsionalitas, pembedaan, dan kebutuhan militer?

Serangan udara Israel terhadap sasaran di wilayah Iran menambah daftar panjang tindakan sepihak yang melanggar hukum internasional. Aksi militer seperti ini, tanpa mandat internasional yang sah, secara jelas bertentangan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang melarang penggunaan kekuatan terhadap negara lain (prinsip non-agresi).

Bacaan Lainnya

Israel berdalih bahwa serangan ini merupakan bentuk “pre-emptive strike” atau pencegahan dini terhadap potensi ancaman dari program nuklir Iran. Namun, argumen ini tidak memiliki dasar hukum maupun fakta yang kuat.

Iran hingga kini masih menjadi pihak dalam Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan program nuklirnya diawasi langsung oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Dalam hukum internasional, setiap negara memiliki hak untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai, sebagaimana dijamin dalam Pasal IV NPT.

Narasi ancaman yang belum terjadi ini mengingatkan kita pada peristiwa invasi Amerika Serikat ke Irak pada tahun 2003, yang juga dibenarkan dengan dalih senjata pemusnah massal—namun hingga kini tidak pernah terbukti.

Doktrin pembelaan diri atas dasar ancaman imajiner atau asumsi sepihak tidak dapat diterima dalam kerangka hukum internasional.

Lebih lanjut, hukum internasional hanya mengizinkan penggunaan kekuatan bersenjata dalam dua kondisi: (1) atas izin Dewan Keamanan PBB, atau (2) sebagai respon terhadap serangan bersenjata nyata.

Dalam kasus ini, Israel tidak mendapatkan izin dari Dewan Keamanan PBB dan juga tidak sedang menghadapi serangan langsung dari Iran. Maka, klaim pembelaan diri berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB tidak relevan.

Yang lebih memprihatinkan, laporan menunjukkan bahwa serangan Israel juga menyasar ilmuwan sipil Iran yang tidak memiliki keterlibatan langsung dalam konflik militer.

Ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip distinction dalam Hukum Humaniter Internasional, yang mewajibkan pemisahan tegas antara kombatan dan non-kombatan. Menargetkan warga sipil bukan hanya tidak etis, tetapi juga melanggar Konvensi Jenewa dan dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang.

Selain itu, serangan ini juga tidak memenuhi prinsip proporsionalitas, yaitu larangan melancarkan serangan yang secara jelas akan menyebabkan kerugian berlebihan pada warga sipil dan objek sipil dibandingkan dengan keuntungan militer yang diharapkan. Dalam konteks ini, serangan ke pusat-pusat kota yang penuh warga sipil sudah pasti akan memakan banyak korban sipil, baik mati maupun terluka.

Prinsip lainnya yang dilanggar adalah prinsip kebutuhan militer (military necessity). Hukum membolehkan penggunaan kekuatan hanya sejauh yang diperlukan untuk mencapai tujuan militer yang sah—namun tetap dengan syarat memperhatikan prinsip kemanusiaan dan pembedaan.

Serangan terhadap fasilitas nuklir dapat menyebabkan kebocoran zat radioaktif yang membahayakan kehidupan manusia dan lingkungan. Kondisi ini bukan hanya masalah bagi Iran, tetapi ancaman bagi perdamaian kawasan dan dunia.

Perang modern telah berubah wajah. Dulu, perang dilakukan di medan terbuka saling berhadapan antar kombatan. Kini, rudal jarak jauh dan drone digunakan dari ribuan kilometer, sering kali mengenai sasaran sipil dan menimbulkan korban di luar medan perang.

Ini adalah bentuk dekadensi dari prinsip kestariaan (chivalry) dan etika dalam perang, yang justru diatur secara ketat dalam hukum internasional, namun sekarang terabaikan karena kecanggihan teknologi.

Sebagai dosen hukum internasional, saya menyerukan kepada masyarakat internasional untuk tidak berdiam diri.

Organisasi-organisasi internasional seperti PBB, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), ASEAN, dan lainnya harus mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil langkah nyata menghentikan agresi ini.

Selain itu, peran IAEA harus diperkuat agar bisa memastikan bahwa program nuklir negara mana pun benar-benar digunakan untuk tujuan damai dan pembangunan.

Jika pelanggaran terhadap hukum internasional terus dibiarkan, maka tatanan dunia akan dibangun bukan atas dasar hukum, tetapi atas dasar kekuasaan.

Ini adalah ancaman nyata bagi perdamaian global dan keadilan antarbangsa. Sudah saatnya hukum internasional ditegakkan, bukan sekadar dibacakan.
______________

Penulis:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M adalah dosen Hukum Internasional di Universitas Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia).

Pewarta: A.Erolflin
Editor : Firman

Ikuti Kami di :
banner 300x250

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.