Oleh:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Hukum Internasional, Universitas Jambi
Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)
JAMBI, Beritategas.com – Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang secara tegas diakui dalam Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982). Status ini memberi Indonesia hak kedaulatan atas seluruh perairan antar-pulau di dalam garis pangkal kepulauan yang ditarik berdasarkan prinsip-prinsip hukum laut internasional. Dalam konteks inilah, setiap pulau—sekecil apa pun—memiliki nilai strategis bukan hanya secara geografis dan ekonomi, tetapi juga dalam kerangka hukum dan kedaulatan nasional.
Belakangan ini, mencuat sengketa antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara terkait klaim atas empat pulau, yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang. Letak geografis keempat pulau ini berada di antara Kabupaten Aceh Singkil (Aceh) dan Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumatera Utara).
Klaim tumpang tindih ini bukan semata urusan administratif lokal. Ia mengandung kompleksitas hukum yang bisa dibaca dengan kacamata hukum internasional, khususnya hukum laut dan hukum penyelesaian sengketa wilayah.
Tiga Pilar Hukum Internasional
Pertama, prinsip uti possidetis juris, yang lazim digunakan Mahkamah Internasional dalam penyelesaian sengketa batas wilayah. Prinsip ini menyatakan bahwa batas administratif yang berlaku pada masa sebelumnya harus dihormati dan dipertahankan. Artinya, siapa yang secara historis—berdasarkan peta kolonial, UU pembentukan provinsi, atau arsip administratif awal kemerdekaan—memiliki wilayah empat pulau tersebut, harus menjadi dasar klaim yang sah.
Kedua, prinsip effectivités, atau efektivitas penguasaan. Dalam kasus-kasus seperti Sipadan dan Ligitan (Indonesia vs Malaysia, 2002), Mahkamah Internasional mengutamakan siapa yang secara nyata menjalankan fungsi pemerintahan: membangun fasilitas, menyelenggarakan pemilu, melakukan pelayanan publik, hingga penegakan hukum. Dalam konteks ini, Aceh dan Sumut perlu membuktikan siapa yang selama bertahun-tahun benar-benar hadir secara administratif di pulau-pulau tersebut.
Ketiga, prinsip integritas wilayah dan penyelesaian damai. Hukum internasional, termasuk Piagam PBB, menegaskan pentingnya menjaga keutuhan wilayah suatu negara dan menyelesaikan setiap sengketa secara damai. Walaupun ini adalah konflik administratif antar provinsi, jika tidak diselesaikan dengan bijak dan objektif, sengketa ini dapat menimbulkan preseden buruk di daerah lain, bahkan membuka celah instabilitas sosial dan politik lokal.
Bukan Sekadar Pulau, Tapi Simbol Kedaulatan
Pulau-pulau yang diperebutkan mungkin kecil dan jauh dari pusat kota, namun dalam hukum laut internasional, setiap pulau memiliki signifikansi.
Keberadaannya dapat mempengaruhi garis batas laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), hingga hak eksplorasi sumber daya alam laut. Karena itu, kepastian pengelolaan dan kepemilikan bukan hanya penting bagi pemerintahan lokal, tetapi juga berkaitan langsung dengan hak kedaulatan negara secara keseluruhan.
Rekomendasi Solusi Berbasis Prinsip Hukum
Pemerintah pusat perlu mengambil peran aktif dan memfasilitasi penyelesaian sengketa ini dengan beberapa pendekatan:
1. Audit historis administratif, untuk menelusuri dokumen resmi dari masa Hindia Belanda hingga setelah kemerdekaan.
2. Verifikasi penguasaan faktual, melalui data pemilu, pelayanan publik, dan dokumentasi pembangunan oleh masing-masing provinsi.
3. Pemetaan geospasial independen, oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian ATR/BPN.
4. Mediasi oleh Kementerian Dalam Negeri, untuk menjembatani kedua daerah secara netral dan berbasis bukti.
5. Penyelesaian hukum, bila perlu melalui Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, atau mekanisme yudisial lainnya.
Lebih dari sekadar siapa yang “berhak” atas empat pulau itu, yang lebih penting adalah memastikan bahwa setiap penyelesaian dilakukan berdasarkan hukum, keadilan, dan prinsip persatuan nasional.
Indonesia harus menunjukkan bahwa konflik batas wilayah tidak diselesaikan dengan tekanan politik atau retorika lokal, melainkan dengan argumen hukum dan semangat kebangsaan.
Penutup
Sengketa Aceh–Sumut ini harus menjadi momentum introspeksi bahwa dalam negara seluas Indonesia, manajemen batas wilayah tidak boleh dianggap remeh. Ia memerlukan dokumentasi yang tertib, pengawasan yang adil, dan penyelesaian berbasis prinsip. Perspektif hukum internasional dapat menjadi panduan metodologis dalam menavigasi masalah-masalah batas wilayah, meskipun konteksnya domestik.
Akhirnya, menyelesaikan konflik ini bukan hanya soal menentukan peta baru, tetapi juga memperkuat fondasi kesatuan dalam keragaman Indonesia. Empat pulau kecil ini adalah pengingat bahwa setiap jengkal tanah air adalah cerminan kedaulatan kita bersama.
Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman