Dosen IBA Palembang, Kartika Sasi Wahyuningrum Sukses Raih Gelar Doktor Ilmu Hukum di UNJA

JAMBI, Beritategas.com – Pertanggungjawaban pidana dalam kasus peretasan data perbankan dapat ditangani berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dengan sanksi pidana penjara dan denda yang signifikan. Pelaku peretasan dapat dikenakan sanksi pidana penjara hingga 15 tahun dan denda hingga Rp200 miliar. Bank juga memiliki tanggung jawab hukum terhadap nasabah atas kebocoran data akibat peretasan, berdasarkan prinsip kewajiban menjaga kerahasiaan bank.

Akan tetapi akibat peretasan seringkali posisi nasabah berada pada posisi yang lemah dan kurang diuntungkan. Hal ini menjadi penelitian Kartika Sasi Wahyuningrum, SH.,MH, Dosen Yayasan IBA Palembang untuk meraih gelar Doktor di Bidang Hukum.

Bacaan Lainnya

Di era digital yang semakin maju, sistem perbankan menjadi salah satu sektor yang paling rentan terhadap serangan siber. Kasus peretasan data perbankan semakin marak terjadi, baik dalam skala nasional maupun ternasional.

Peretasan ini tidak hanya dilakukan oleh individu yang memiliki kemampuan teknologi tinggi, tetapi juga oleh kelompok terorganisir yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan finansial dengan cara ilegal.

Kejahatan siber dalam dunia perbankan dapat berupa pencurian identitas, akses ilegal ke rekening nasabah, hingga manipulasi sistem perbankan untuk tujuan tertentu. Fenomena ini menjadi ancaman serius bagi amanan data dan stabilitas sektor keuangan di berbagai negara.
Menurut Sasi, dampak dari peretasan data perbankan tidak hanya dirasakan oleh nasabah sebagai pemilik rekening, tetapi juga oleh lembaga perbankan yang harus menanggung kerugian besar akibat kebocoran data dan kehilangan percayaan dari masyarakat.

“Keamanan data nasabah merupakan aset penting dalam industri perbankan, dan ketika data ini diretas, konsekuensi yang ditimbulkan bisa sangat luas. Nasabah yang menjadi korban peretasan sering kali mengalami kerugian finansial, seperti kehilangan dana akibat pencurian atau penyalahgunaan informasi perbankan mereka”, ujarnya..

Selain itu, dampak psikologis seperti kehilangan rasa aman dalam menggunakan layanan perbankan digital juga menjadi masalah yang tidak bisa diabaikan.
Bagi lembaga perbankan, serangan siber yang berhasil menembus sistem keamanan mereka dapat menyebabkan ketidak percayaan dari masyarakat. Kredibilitas bank yang mengalami kebocoran data akan menurun, dan dalam beberapa kasus, bank harus mengganti kerugian yang dialami oleh nasabahnya.

Selain itu, bank juga menghadapi sanksi hukum jika terbukti lalai menjaga keamanan sistem mereka. Kejadian ini memaksa perbankan untuk terus memperbarui sistem keamanan mereka guna mengantisipasi serangan di masa depan.

Dampak yang lebih luas dari peretasan data perbankan adalah gangguan terhadap stabilitas sistem peretasan terjadi dalam skala besar dan melibatkan sejumlah bank atau sistem pembayaran yang digunakan oleh banyak masyarakat, maka hal ini dapat menyebabkan kepanikan di sektor keuangan.

Masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap sistem perbankan digital mungkin akan menarik dana mereka secara besar-besaran, yang berpotensi mengganggu likuiditas perbankan dan sister keuangan secara keseluruhan.

Oleh karena itu, pemerintah dan lembaga keuangan harus bekerja sama memperkuat keamanan data serta menegakkan hukum secara ketat terhadap para pelaku peretasan.

Bank selaku badan usaha sekaligus penyelenggara sistem elektronik harus menyelenggarakan sistem elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap sistem elektronik sebagaimana mestinya.

Lebih lanjut, dalam POJK 11/2022 diatur bahwa bank wajib menjaga ketahanan siber dengan melakukan proses minimal identifikasi aset, ancaman, dan kerentanan, pelindungan aset, deteksi insiden siber, dan penanggulangan serta pemulihan insiden siber.

Ujian disertasi terbuka  dilakukan UNJA terhadap Kartika Sasi mahasiswa S3 (program doktor) adalah untuk memperoleh gelar doktor Ilmu Hukum dan merupakan ujian akhir.

Adapun yang menjadi Penguji Eksternal Pror. Dr. Herlambang, SH.,MH dari Univ. Bengkulu, Ketua Penguji Prof. Helmi SH.,M.H, Penguji Prof. Usman, SH.MH, Dr. Sri Rahayu, SH.,MH, Dr. Retno Kusniati, SH.,MH, Promotor Prof. Dr. Hafrida, SH.,MH, Co-Promotor Dr. Elly Sudarti, SH.,M.H, Sekretaris Dr. Dwi Suryahartati, SH.,M.Kn.

Sidang terbuka Kartika Sari Wahyuningrum, SH.,MH dengan disertasi berjudul “Hukum Pidana Dalam Peretasan Data Perbankan: Pertanggungjawaban dan Perlindungan Nasabah” Senin (21/04/2025) pekan lalu berhasil lulus dengan nilai Disertasi 87/A, IPK 3,97, ujar Prof. Helmi.

Kemudian “Atas kelulusan tersebut Kartika Sari Wahyuningrum, SH.,MH berhak menyandang gelar Doktor Ilmu Hukum sebagai lulusan ke-118. Maka pada hari ini untuk pertama kali kami sebut dengan nama Dr. Kartika Sari Wahyuningrum, SH.,MH,”tutur Prof. Dr. Hafrida, SH.,MH.

Prof. Hafrida, juga menitipkan pesan almamater,”teruslah belajar jangan cepat puas, mengabdi dan bekarya dimanapun, kapanpun. Jaga nama baik almamater.

Jadi berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, maka pada dasarnya bank wajib memiliki sistem keamanan yang memadai pada sistem elektroniknya. Hal ini bertujuan untuk melindungi data dan transaksi nasabah dari pengaksesan yang tidak sah serta ancaman keamanan lainnya.

Apabila bank tidak mematuhi peraturan mengenai kewajiban menjaga keamanan siber, dapat dikenakan sanksi administratif oleh OJK, berupa teguran tertulis, larangan untuk menerbitkan produk bank baru, pembekuan kegiatan usaha tertentu, dan/atau penurunan penilaian faktor tata kelola dalam penilaian tingkat kesehatan bank.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :
banner 300x250

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.