Banjir Bandang, Tanggung Jawab Negara, dan Jalan Class Action bagi Warga

Penulis:
Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia).

JAMBI, Beritategas.com – Sebuah peribahasa melukiskan bahwa “Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak”. Peribahasa ini memiliki makna bahwa nasib manusia tidak dapat dipastikan sebelumnya dan tidak dapat diubah, karena berada di tangan Tuhan. Peribahasa ini menggambarkan bahwa keberuntungan (mujur) tidak bisa digenggam sebelum waktunya dan kemalangan juga tidak bisa dihindari jika memang sudah ditakdirkan. Akan tetapi dibalik semua itu ada hukum yang mengaturnya.

Bacaan Lainnya

Banjir bandang kembali menyapu wilayah-wilayah di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dalam hitungan jam, air bah berubah menjadi arus ganas yang membawa lumpur, batu besar, bahkan gelondongan kayu dari hulu hingga ke permukiman warga.

Rumah-sawah hancur, jembatan terputus, dan warga terpaksa menyelamatkan diri dengan apa yang tersisa. Sebagian kehilangan harta, sebagian kehilangan mata pencaharian, dan yang paling pilu: sebagian kehilangan anggota keluarga.

Peristiwa ini kembali menegaskan bahwa bencana alam di Indonesia bukan lagi semata persoalan cuaca ekstrem. Ia telah berubah menjadi bencana ekologis dan bencana tata kelola.

Ketika air datang membawa kayu-kayu besar dari hutan yang telah gundul, publik wajar bertanya: darimana kayu-kayu itu berasal? Mengapa hulu sungai kehilangan daya tahannya? Mengapa banjir kini datang bukan hanya saat hujan panjang, melainkan cukup dengan hujan lebat dalam beberapa jam?

Duka yang Tak Boleh Sekadar Simpati
Atas nama kemanusiaan, kita patut menyampaikan rasa duka dan keprihatinan yang mendalam kepada seluruh korban dan keluarga yang terdampak. Mereka bukan hanya korban air dan tanah, tetapi korban dari kegagalan sistem dalam menjaga keseimbangan alam.

Tidak ada kalimat yang benar-benar cukup untuk menghibur mereka yang kehilangan anak, orang tua, rumah, dan masa depan dalam satu kejadian.

Saat ini yang dibutuhkan adalah langkah cepat pemerintah dalam evakuasi, pendirian posko, layanan kesehatan, logistik, dan pemulihan akses jalan adalah keharusan mutlak. Negara tidak boleh lambat, apalagi ragu. Pada fase darurat, nyawa manusia adalah hukum tertinggi.

Namun setelah fase tanggap darurat, negara juga tidak boleh berhenti pada urusan bantuan semata. Investigasi yang transparan, terbuka, dan berbasis data harus segera dilakukan: tentang kondisi hulu sungai, tutupan hutan, izin tambang, izin perkebunan, hingga praktik pembalakan liar. Tanpa keberanian membongkar akar masalah, banjir bandang hanya akan menjadi siklus tragedi tahunan.

Dalam negara hukum, rasa duka dan tanggap darurat saja tidak cukup. Belasungkawa harus diikuti dengan tanggung jawab. Bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga tanggung jawab hukum dan kelembagaan.

Ini Bencana Ekologi, bukan Bencana Alam
Cuaca ekstrem memang berperan sebagai pemicu. Namun dalam berbagai kajian lingkungan dan pengalaman empiris, hujan hampir selalu hanya “pemantik”. Bencana yang merusak terjadi karena deforestasi dan eksploitasi yang tak terkendali.

Alih fungsi hutan menjadi kebun sawit, perambahan kawasan lindung, pembalakan liar, serta aktivitas pertambangan—baik legal maupun ilegal—telah mengubah struktur tanah, merusak daerah resapan, dan mempercepat limpasan air ke hilir.

Sungai kehilangan daerah penyangga, lereng kehilangan vegetasi penahan, dan tanah kehilangan kemampuan menyerap air.

Gelondongan kayu yang terbawa banjir bandang bukan sekadar “benda hanyut”. Ia adalah indikator ekologis bahwa telah terjadi kerusakan struktural di hulu.

Kayu sebesar itu tidak akan terangkut jika hutan masih sehat. Ia hanya muncul ketika pembukaan lahan tak terkendali atau pembalakan liar dibiarkan berlangsung bertahun-tahun tanpa pengawasan.

Di titik inilah isu banjir bandang tidak lagi semata menjadi persoalan bencana alam, melainkan persoalan tanggung jawab hukum negara dan korporasi.

Banjir Bandang sebagai Cermin Kegagalan Tata Kelola

Bencana ini sesungguhnya adalah cermin dari: Lemahnya pengawasan perizinan; Konflik kepentingan dalam eksploitasi sumber daya alam; Ketimpangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan; Minimnya efek jera bagi perusak lingkungan.

Jika negara sungguh-sungguh ingin mencegah banjir bandang berulang, maka jawaban utamanya bukan sekadar normalisasi sungai, tetapi penertiban struktur ekonomi-ekologis di hulu.

Selama hutan dianggap sebagai objek ekonomi semata, selama izin tambang dapat diterbitkan tanpa kajian lingkungan yang ketat, dan selama pembalakan liar hanya dihukum pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor intelektualnya, maka banjir bandang akan terus menjadi “bencana musiman”.

Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Akibat Hukum bagi Negara bila Gagal
Konstitusi Indonesia (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini tidak bersifat pasif.

Negara memiliki kewajiban aktif untuk mencegah pencemaran dan kerusakan, serta menindak setiap pelanggaran.

Hak ini juga dijamin dalam berbagai instrumen hukum lingkungan nasional dan internasional. Artinya, ketika lingkungan rusak akibat kebijakan perizinan yang keliru, lemahnya pengawasan, atau pembiaran pelanggaran hukum, maka hak asasi warga negara telah dilanggar.

Negara tidak hanya berkewajiban untuk hadir ketika bencana terjadi, tetapi wajib mencegah bencana itu sejak awal melalui kebijakan tata ruang, perizinan yang ketat, dan penegakan hukum terhadap perusak lingkungan. Bila kewajiban itu lalai dijalankan, maka negara dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum.

Dalam perspektif hukum internasional, kewajiban negara untuk mencegah bencana ekologis akibat kerusakan lingkungan bukan sekadar kewajiban moral, melainkan kewajiban hukum yang telah mengikat Indonesia sebagai negara pihak berbagai instrumen internasional.

Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 dan Prinsip ke 2 dan 15 Deklarasi Rio 1992 menegaskan bahwa negara memang berdaulat mengelola sumber daya alamnya, tetapi wajib memastikan bahwa setiap aktivitas dalam yurisdiksinya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan.

Kewajiban ini diperkuat dalam Convention on Biological Diversity 1992 yang telah diratifikasi Indonesia, yang mewajibkan negara melindungi ekosistem hutan dan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyangga kehidupan.

Pada saat yang sama, Paris Agreement 2015 mewajibkan negara memperkuat langkah adaptasi dan pengurangan risiko bencana terkait perubahan iklim, termasuk banjir ekstrem.

Kelalaian negara dalam mengendalikan deforestasi, aktivitas tambang, dan alih fungsi kawasan resapan yang berkontribusi pada banjir bandang dengan demikian dapat dipandang sebagai pelanggaran kewajiban internasional yang telah mengikat secara hukum.

Lebih jauh, kewajiban negara untuk melindungi warga dari dampak kegiatan korporasi juga ditegaskan dalam UN Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), yang mewajibkan negara melakukan pencegahan, pengawasan, serta penyediaan pemulihan bagi korban.

Apabila negara mengetahui atau seharusnya mengetahui risiko ekologis dari aktivitas usaha, tetapi gagal mencegah dan mengawasinya, maka kelalaian tersebut memenuhi unsur internationally wrongful act by omission sebagaimana dirumuskan dalam Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts (ILC 2001), sehingga membuka ruang pertanggungjawaban negara tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga dalam perspektif hukum internasional.

Jalan Hukum bagi Korban: Class Action sebagai Instrumen Keadilan

Dalam konteks inilah class action (gugatan perwakilan kelompok) menjadi salah satu instrumen hukum yang relevan dan strategis bagi para korban banjir bandang.

Class action memungkinkan sekelompok masyarakat yang mengalami kerugian serupa menggugat pihak yang bertanggung jawab dalam satu perkara. Gugatan ini dapat diarahkan kepada perusahaan pemegang izin perkebunan, perusahaan tambang, atau pihak lain yang diduga menyebabkan kerusakan lingkungan.

Bahkan, dalam konteks tertentu, negara pun dapat digugat jika terbukti lalai dalam menjalankan kewajibannya.

Tujuan class action bukan semata ganti rugi, tetapi juga: Pemulihan lingkungan; Jaminan ketidakberulangan; dan Perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada keselamatan publik.

Bagi masyarakat awam, class action memang terdengar rumit. Namun melalui pendampingan lembaga bantuan hukum, organisasi lingkungan, dan advokat publik, gugatan ini bukan hal mustahil. Yang penting adalah kemauan kolektif korban untuk bersatu dan memperjuangkan haknya secara hukum.

Kasus lumpur Lapindo di Sidoarjo menjadi contoh monumentalnya gugatan kolektif dalam tragedi lingkungan. Ribuan warga kehilangan rumah dan tanah. Melalui perjuangan panjang—baik litigasi maupun non-litigasi—korban akhirnya memperoleh skema ganti rugi dan tanggung jawab korporasi yang diakui.

Meski tidak sempurna dan penuh dinamika politik-hukum, pengalaman Lapindo menunjukkan satu hal penting: masyarakat yang bersatu dan menggunakan jalur hukum dapat memaksa negara dan korporasi bertanggung jawab.

Penutup: Jangan Biarkan Air Bah Menghapus Tanggung Jawab

Banjir bandang akan surut, lumpur akan mengering, berita akan berganti. Namun pertanyaan tanggung jawab tidak boleh ikut menguap. Negara harus membuktikan bahwa ia tidak kalah oleh banjir, dan tidak tunduk pada kepentingan yang merusak lingkungan.

Bila negara lamban atau abai, maka hukum menyediakan jalannya: class action sebagai instrumen rakyat untuk menuntut keadilan ekologis. Karena dalam negara hukum, bencana tidak boleh menjadi alasan untuk menghapus tanggung jawab. Justru di saat bencana, keadilan harus berdiri paling tegak.

Pewarta: A. Erolflin
Editor : Firman

Ikuti Update Berita Selanjutnya :Silahkan klik Disini. Ikuti saluran BERITATEGAS.COM.

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses