Sanksi Pidana Membuka Perkebunan Kelapa Sawit Dalam Areal Hutan Lindung di Jambi

Oleh:
Dr. Erwin, S.H., M.H.
Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi

JAMBI, Beritategas.com – Kedatangan Satgas PKH (Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan) ke Jambi, khususnya di wilayah yang terdapat perkebunan kelapa sawit, dari pantauan sampai saat ini minimal ada 5 kabupaten di Provinsi Jambi yang diduga masuk ke dalam pantauan Satgas PKH, dimana masyarakat yang membuka lahan perkebunan kelapa sawit di areal yang diduga kawasan hutan lindung merasa was-was. 

Bacaan Lainnya

Petani perkebunan kelapa sawit ini berasal dari Kabupaten Muaro Jambi, Sarolangun, Batanghari, Tebo, dan Tanjung Jabung Barat.

Rasa was-was dari petani sawit tersebut bukan tidak beralasan karena kedatangan Satgas PKH ini bertugas menertibkan kawasan hutan yang terindikasi bermasalah, termasuk perkebunan kelapa sawit yang dibuka secara ilegal. 

Masyarakat yang mengelola tanah yang diambil alih oleh Satgas PKH (Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan) bisa menghadapi sanksi pidana jika terbukti ada pelanggaran hukum, seperti perusakan hutan atau penggunaan lahan tanpa izin.

Satgas PKH yang dibentuk berdasarkan Perpres nomor 5 Tahun 2025, bertugas menertibkan kawasan hutan yang dikelola secara ilegal dan mengembalikannya kepada negara. 

Satgas PKH tidak hanya menyegel lahan, tetapi juga menyelidiki dan memproses hukum jika ada indikasi pelanggaran pidana. Misalnya, perusakan hutan, penebangan liar, atau alih fungsi hutan tanpa izin dapat dikenakan sanksi pidana.

Perpres No. 5 Tahun 2025 menjadi dasar hukum bagi Satgas PKH untuk menertibkan kawasan hutan yang dikelola secara tidak sah. Perpres ini juga mengatur tentang pengembalian lahan kepada negara dan pemulihan kawasan hutan. 

Satgas PKH terdiri dari berbagai instansi, termasuk Kejaksaan Agung, TNI, Polri, dan kementerian terkait. Mereka melakukan verifikasi, pendataan, dan penertiban lahan yang dikelola secara ilegal, serta memastikan pengembalian lahan kepada negara. 

Selain penertiban, Satgas PKH juga fokus pada pemulihan ekologi kawasan hutan yang rusak akibat pengelolaan ilegal. Hal ini termasuk upaya penghijauan kembali dan pemulihan fungsi hutan.

Satgas PKH juga mempertimbangkan dampak sosial dari penertiban ini, terutama bagi masyarakat yang bergantung pada lahan tersebut. Mereka berupaya mencari solusi yang adil dan berkelanjutan, termasuk kemungkinan relokasi atau pemberian lahan alternatif. 

Satgas PKH telah menyegel ribuan hektar lahan ilegal di berbagai daerah, termasuk di kawasan hutan Pasaman, Sumatra Barat dan Taman Nasional Gunung Leuser yang terletak di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Mereka juga telah menyerahkan beberapa lahan hasil penguasaan kembali kepada pemerintah, seperti perkebunan sawit yang dikelola secara ilegal.

Satgas PKH berupaya melakukan penertiban secara transparan dan sesuai dengan proses hukum. Pemerintah juga berkomitmen untuk menjaga hak-hak masyarakat yang terdampak, termasuk hak atas pekerjaan. 

Satgas PKH dibentuk untuk menertibkan kawasan hutan yang digunakan untuk perkebunan sawit secara ilegal, terutama oleh perusahaan besar. Petani sawit yang memiliki lahan di hutan lindung merasa khawatir karena takut lahan mereka akan menjadi target penertiban.

Pada dasarnya Petani yang memiliki dokumen lengkap atas lahan mereka seharusnya tidak perlu khawatir, namun tetap perlu mengikuti perkembangan informasi terkait penertiban.

Dialog terbuka antara Satgas PKH dan masyarakat Jambi sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman dan keresahan yang berlebihan.

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk melihat pada dasarnya apakah ada sanksi pidana jika seandainya ada oknum-oknum yang membuka lahan perkebunan kelapa sawit di areal hutan lindung.

Tentunya pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut dilakukan secara sengaja, dimana pada dasarnya masyarakat mengetahui bahwa areal yang dibuka itu adalah kawasan hutan lindung, terkait permasalahan Satgas PKH ini saya mencoba melihat pelanggaran pidananya jika memang ada kesengajaan dari pihak-pihak tertentu yang dengan sengaja merambah hutan lindung menjadi kawasan perkebunan kelapa sawit.

Dari undang-undang yang ada di Negara Republik Indonesia saat ini terkait permasalahan di atas minimal ada beberapa undang-undang yang melarang adanya kegiatan termasuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di areal hutan lindung, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H).

Undang-undang ini mengatur tentang pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan. Pembukaan lahan kelapa sawit secara ilegal di hutan lindung termasuk dalam kategori perusakan hutan yang diatur dalam UU ini.

Pasal 17 ayat (2) huruf b: Melarang setiap orang melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri Kehutanan. Pasal ini dapat diterapkan pada kegiatan perkebunan yang ilegal di kawasan hutan, Pasal 92 Mengatur sanksi pidana bagi pelaku perusakan hutan, termasuk pembukaan lahan tanpa izin, dengan ancaman pidana penjara dan denda.

Pasal 17 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013
Setiap orang dilarang: melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan;

Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dapat digunakan untuk menjerat siapa saja yang berkebun di areal hutan lindung tanpa izin dari Menteri, karena pasal tersebut melarang kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin menteri.

Hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, termasuk pengaturan tata air, pencegahan banjir, pengendalian erosi, dan lain-lain. 

Masyarakat yang berkebun di hutan lindung tanpa izin dianggap telah melakukan kegiatan yang melanggar pasal 17 ayat (2) huruf b UU P3H, karena kegiatan perkebunan tersebut termasuk dalam kategori tanpa izin. 

UU P3H bertujuan untuk mencegah dan memberantas perusakan hutan, termasuk perusakan yang disebabkan oleh kegiatan perkebunan ilegal. 

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) mengatur sanksi pidana bagi siapa saja yang membuka lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan lindung tanpa izin. Sanksi tersebut berupa pidana penjara dan denda.

Pasal 92
Orang perseorangan yang dengan sengaja:
melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Korporasi yang:
a. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b; dan/atau
b. membawa alat-alat berat dan/atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk melakukan kegiatan perkebunan dan/atau mengangkut hasil kebun di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 8 (delapan) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk melindungi kelestarian fungsi lingkungan hidup, seperti perlindungan tata air, pencegahan banjir dan erosi, serta perlindungan keanekaragaman hayati. 

Membuka lahan sawit dalam konteks ini berarti melakukan kegiatan pembukaan lahan, termasuk penebangan hutan, pembakaran lahan, dan kegiatan lain yang mengubah fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. 

Tanpa izin berarti kegiatan tersebut tidak memiliki izin yang sah dari instansi yang berwenang, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 

Sanksi pidana dalam UU P3H bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku perusakan hutan dan mencegah terjadinya perusakan hutan lebih lanjut. Denda yang besar juga dimaksudkan untuk menutupi kerugian negara dan masyarakat akibat kerusakan hutan.

UU P3H juga mengatur sanksi pidana untuk pelaku yang melakukan kegiatan lain yang merusak hutan, seperti pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan pembakaran hutan. 

Selain sanksi pidana, pelaku perusakan hutan juga dapat dikenai sanksi administratif, seperti pencabutan izin usaha dan kewajiban untuk memulihkan kondisi hutan. 

Masyarakat dihimbau untuk tidak melakukan kegiatan yang melanggar hukum di kawasan hutan lindung dan melaporkan jika menemukan adanya kegiatan perusakan hutan. 

Pasal 17 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan mengatur larangan melakukan kegiatan perkebunan di dalam kawasan hutan tanpa izin dari menteri. Meskipun tidak secara spesifik menyebut “membuka lahan sawit”, kegiatan membuka lahan sawit di hutan lindung termasuk dalam kategori perusakan hutan dan dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan UU tersebut.

Penjelasan “Setiap orang” Mencakup siapa saja, termasuk masyarakat umum, perusahaan, atau badan hukum lainnya.”Kegiatan perkebunan” Dalam konteks ini, termasuk pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, karena kegiatan ini melibatkan pengrusakan hutan.”Kawasan hutan” Meliputi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi.”Tanpa izin Menteri” Izin pembukaan lahan harus dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan (sekarang Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan).

Jika tidak ada izin, maka kegiatan tersebut dianggap ilegal. Contoh Kasus: Seorang petani atau perusahaan membuka lahan di hutan lindung untuk ditanami kelapa sawit tanpa izin dari Menteri LHK. Perbuatannya ini melanggar Pasal 17 ayat (2) huruf b UU Nomor 18 Tahun 2013 dan dapat dikenakan sanksi pidana. Meskipun pasal ini tidak secara spesifik menyebut “perkebunan kelapa sawit”, kegiatan membuka lahan sawit di kawasan hutan yang tidak memiliki izin merupakan bentuk perusakan hutan dan termasuk dalam kategori “kegiatan perkebunan” yang dilarang.

UU No. 41 Tahun 1999 (UU Kehutanan):
Undang-undang ini mengatur tentang pengelolaan hutan, termasuk kawasan hutan lindung. Pembukaan lahan kelapa sawit di hutan lindung jelas melanggar ketentuan UU ini karena hutan lindung memiliki fungsi utama sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan.

Pasal 50 ayat (3) huruf e: Melarang setiap orang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan hutan, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan. Pasal 78 ayat (5): Mengatur sanksi pidana bagi pelaku pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 50 ayat (3), termasuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di hutan lindung.

Pasal 50 ayat (3)
(3)Setiap orang dilarang:
huruf e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang.

Pasal 78 ayat (5)
Ayat (5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Perbuatan membuka lahan perkebunan kelapa sawit di hutan lindung dapat dikategorikan sebagai perusakan hutan yang melanggar ketentuan UU Kehutanan dan UU P3H. Pelaku dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan pasal-pasal yang relevan dalam undang-undang tersebut.

Selain sanksi pidana, pelaku juga dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk denda, penghentian sementara kegiatan, atau pencabutan izin usaha. Penegakan hukum terkait pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di hutan lindung harus memperhatikan aspek lingkungan dan keberlanjutan. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum perlu melakukan tindakan tegas terhadap pelaku perusakan hutan, baik yang skala kecil maupun besar. Masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan dan lingkungan.

Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan lindung dapat berdampak pada kerusakan lingkungan, hilangnya fungsi hutan sebagai resapan air dan habitat satwa liar, serta dapat memicu konflik sosial. Meskipun ada upaya untuk memutihkan perkebunan ilegal melalui UU Cipta Kerja, hal ini masih menjadi kontroversi karena dapat merugikan lingkungan dan bertentangan dengan prinsip-prinsip perlindungan hutan. 

Masyarakat perlu memahami bahwa pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan lindung tanpa izin adalah tindakan melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana, serta berdampak negatif pada lingkungan.
Sebagai kesimpulan, bahwa membuka perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan lindung di Jambi dapat dikenai sanksi pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pelaku dapat terancam hukuman penjara dan denda yang cukup besar.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses