Ramai Kritik Artis Jadi DPR, Dosen UNJA Kasih 3 Saran Penting Revisi UU Pemilu

Oleh:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi, Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia) dan Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (Kopipede) Prov. Jambi

JAMBI, Beritategas.com – Beberapa minggu terakhir, jalanan dipenuhi gelombang demonstrasi besar-besaran. Suara rakyat menggema, mereka menuntut keadilan dan empati dari pemerintah maupun DPR dengan tajuk “17+8 Tuntutan Rakyat”. Perasaan terjajah di negeri sendiri kian kuat ketika elit politik menikmati penghasilan besar yang tidak masuk akal, sementara rakyat dicekik pajak yang ironisnya digunakan untuk membayar gaji mereka. Situasi ini membuat publik semakin sadar apa arti sesungguhnya dari ‘hak politik’ dalam pemilu.

Bacaan Lainnya

Menanggapi keresahan itu, Menko Kumham Imipas Yusril Ihza Mahendra menyatakan pemerintah tengah menyiapkan revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Partai Politik. Saya sepakat, bahkan sejak lama lantang bersuara bahwa dua undang-undang tersebut memang wajib segera direvisi. Tentu ada banyak hal yang harus dibenahi, salah satunya Yusril menyinggung soal kualitas DPR yang menurun karena banyak artis menjadi anggota legislatif. Menurut saya, bukan profesi artisnya yang bermasalah, melainkan proses seleksi dan rekrutmen di tingkat partai politik yang masih jauh dari akal sehat.

Atas dasar momentum meningkatnya kesadaran ‘hak politik’ masyarakat, Kamis (04/09/2025) saya mewakili rekan-rekan Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia) serta Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (Kopipede) Provinsi Jambi menyerahkan kajian teknis “Sistem Pemilu 2029: Mempertahankan Sistem Proporsional Terbuka dengan Perbaikan Tata Kelola Rekrutmen Caleg dan Pendanaan Partai Politik.” Sebuah kajian untuk memperkuat demokrasi Indonesia menjelang Pemilu 2029.

Apakah sistem proporsional terbuka masih relevan?

Perdebatan soal sistem pemilu kembali mencuat setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sistem proporsional tertutup pada Juni 2023 lalu. Keputusan itu menegaskan, Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, di mana rakyat bisa langsung memilih calon anggota legislatif. Pertanyaannya: apakah sistem ini masih relevan untuk Pemilu 2029?

Jawaban saya: ya, meskipun ada kelebihan dan kekurangannya, namun sistem proporsional terbuka perlu dipertahankan. Karena akar masalahnya bukan pada “mesinnya”, melainkan pada “sopirnya”. Mesin demokrasi kita sudah benar, tapi pengelolaan partai politik, tata kelola pendanaannya, serta kesadaran pemilih masih jauh dari ideal. Karena itu, alih-alih mengutak-atik sistem, fokus perbaikan seharusnya diarahkan pada tiga hal mendasar: rekrutmen calon legislatif, transparansi pendanaan partai politik, dan pendidikan pemilih.

Rekrutmen yang Elitis dan Transaksional
Realitas di lapangan menunjukkan, proses pencalonan anggota legislatif kerap berlangsung tertutup. Siapa yang diusung partai bukan ditentukan oleh integritas atau kapasitas, melainkan kedekatan, kekerabatan, atau lebih parah, besarnya mahar politik. Akibatnya, caleg yang terpilih lebih sering lahir dari popularitas instan ketimbang kaderisasi jangka panjang.

Sistem seperti ini jelas berbahaya. Ia berpotensi melahirkan wakil rakyat yang tidak amanah, korup, dan jauh dari nilai hikmat kebijaksanaan sebagaimana diamanatkan sila keempat Pancasila. Untuk mencegah hal itu, perlu aturan nasional yang mengikat semua partai dalam hal rekrutmen caleg.

Standar minimal yang bisa diatur melalui peraturan pemerintah atau Permendagri misalnya: transparansi proses seleksi, akuntabilitas publik, inklusivitas bagi perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas, serta penerapan merit system. Dengan begitu, caleg yang dihasilkan bukan hanya populer, tetapi juga berintegritas dan kompeten.

Pendanaan Partai: Pintu Masuk Korupsi Politik

Aspek kedua yang tak kalah genting adalah soal pendanaan partai politik. Selama ini laporan dana kampanye sering hanya formalitas. Banyak sumber dana gelap yang tidak pernah tercatat. Donasi dari pemodal besar rawan berujung pada praktik state capture corruption, kebijakan publik dikuasai oleh kepentingan segelintir orang.

Karena itu, mekanisme pengawasan harus diperketat. Partai politik seharusnya diwajibkan melaporkan pemasukan dan pengeluaran secara real time di portal publik. KPK dan BPK harus dilibatkan aktif, bukan sekadar KPU. Batas donasi individu maupun korporasi juga harus dipersempit, dan setiap aliran dana wajib melalui sistem perbankan agar mudah diaudit.

Lebih jauh, pelanggaran terkait dana politik jangan lagi hanya dianggap pelanggaran administratif. Ia harus dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Prinsip ini sejalan dengan Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) 2003, yang mewajibkan negara meningkatkan transparansi pendanaan partai politik.

Pendidikan Pemilih: Kunci Demokrasi Berkualitas

Pernah dengar istilah ‘pemimpin adalah cerminan rakyatnya’? sama dengan hal tersebut ‘wakil rakyat adalah cerminan rakyatnya’. Artinya bila ingin mendapatkan wakil rakyat yang berintegritas dan berempati, juga dipengaruhi oleh kualitas rakyat yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Maka pendidikan pemilih menjadi penting. Pemilu yang sehat tak akan terwujud bila masyarakat, khususnya generasi muda, tidak melek politik.

Sayangnya, program pendidikan pemilih selama ini masih bersifat seremonial dan musiman, baru ramai menjelang pemilu. Padahal, momen terbaik untuk membina kesadaran politik justru adalah sekarang, saat tahapan pemilu belum dimulai.

KPU, Bawaslu, Kemendagri, pemerintah daerah, hingga Kesbangpol seharusnya mengambil peran proaktif. Misalnya, dengan membuat program pendidikan politik yang kreatif dan kekinian: konten digital yang menarik di TikTok, Instagram, atau YouTube; kompetisi debat politik pelajar dan mahasiswa; festival demokrasi di kampus dan sekolah; atau podcast interaktif bersama tokoh publik.

Lebih dari itu, perlu dibentuk agen demokrasi dari kalangan pelajar, mahasiswa, organisasi kepemudaan, dan komunitas lokal yang secara rutin dibina untuk memberikan edukasi politik yang sehat, politik tanpa uang, tanpa intimidasi, dan tanpa ujaran kebencian.
Mereka bisa menjadi “relawan literasi politik” yang bergerak terus-menerus di tengah masyarakat, tidak hanya menjelang pemilu.

Dengan cara ini, generasi muda tak sekadar menjadi objek kampanye, tetapi benar-benar subjek yang kritis dan rasional dalam menentukan pilihannya.
Menjaga Demokrasi Tetap Bermakna.

Sistem proporsional terbuka sejatinya adalah kompromi terbaik bagi Indonesia. Sistem ini menjaga kedaulatan rakyat sekaligus memberi akuntabilitas personal kepada caleg terpilih. Namun, jika tidak dibarengi perbaikan tata kelola partai, transparansi pendanaan, dan pendidikan pemilih, ia hanya akan melahirkan demokrasi prosedural yang kering makna.
Pemilu 2029 adalah momentum penting.

Dengan menegakkan standar rekrutmen caleg berbasis integritas, transparansi penuh dalam pendanaan partai, dan pendidikan politik berkelanjutan bagi generasi muda, kita bisa tetap mempertahankan sistem terbuka sekaligus menghadirkan wajah baru demokrasi yang lebih bersih, inklusif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Pada akhirnya, demokrasi tidak boleh berhenti pada soal siapa yang dipilih. Demokrasi harus memastikan bahwa yang terpilih benar-benar berjiwa negarawan hikmat dan bijaksana dalam mewakili rakyatnya.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses