Menurut ust. Sadam, seorang manusia bisa masuk surga disebabkan lisannya. Apabila benar lisannya, maka dia akan mendapatkan pahala, dan sebaliknya bila salah maka dia mendapatkan dosa.
Lisan manusia bisa mewujudkan dzikir, tasbih, dan tahlil, atau membaca al-Qur`an, atau ucapan amar ma’ruf nahi munkar, berbuat baik kepada manusia, dan mengajak mereka kepada kebaikan. Lisan adalah salah satu nikmat Allah jika dipergunakan oleh hamba untuk kebaikan, petunjuk dan keshahihan.
Lisan senang mengembara ke tempat yang tak bertujuan, lahannya sangat luas tidak terbatas dan bertepi. Ia memiliki peran yang sangat besar di lahan kebajikan dan lahan keburukan.
Maka barangsiapa yang mengumbar lisannya dengan bebas dan tidak mau mengendalikannya, maka setan akan menggiringnya ke dalam segala sesuatu yang dia ucapkan. Lalu menyeretnya ke jurang kehancuran, dan selanjutnya jatuh ke dalam kebinasaan.
Tidak ada seorang pun yang dapat selamat dari tergelincirnya lisan kecuali orang-orang yang mau mengendalikannya dengan tali kekang syariat, sehingga lisannya tidak mengucapkan kecuali sesuatu yang memberi manfaat di dunia dan di akhirat.
Imam Abi Dawud meriwayatkan bahwa suatu ketika Aisyah mengatakan tentang shafiyah kepada Rasulullah:
“Cukuplah bagi baginda bahwa Shafiyah itu orangnya begini, begini. ”Maksudnya tubuhnya pendek. Maka Nabi bersabda kepadanya, “Engkau telah mengucapkan suatu perkataan yang bila dicampur dengan air laut niscaya dia akan merubahnya.” (HR. Abu Dawud).
Maàsyirol muslimin rohkhimakumullah
Terkait dengan keharusan menjaga lisan, Imam an-Nawawi menyatakan: “Ketahuilah bahwa setiap mukallaf harus menjaga lisannya dari semua perkataan kecuali perkataan yang di dalamnya terdapat kemaslahatan yang jelas. Dan ketika perkataan itu mubah, sedangkan dalam meninggalkannya terdapat maslahat maka disunahkan untuk menahan diri darinya. Karena terkadang perkataan yang mubah akan menyeret manusia menuju keharaman atau kemakruhan, bahkan ini menjadi hal yang umum di dalam adat kebiasaan, sedangkan keselamatan maka tidak ada sesuatu pun yang menyamainya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits yang disepakati keshahihannya ini merupakan nash yang sharih, bahwasanya tidak seharusnya seseorang berbicara melainkan apabila perkataan tersebut baik, yaitu yang tampak jelas maslahatnya, dan ketika ragu tentang kejelasan maslahatnya, maka janganlah berbicara.
Al-Imam asy-Syafii berkata, “Apabila seseorang ingin berbicara, maka hendaklah dia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara, apabila telah jelas maslahatnya, maka dia berbicara, dan apabila ragu-ragu, maka dia tidak berbicara sampai jelas maslahatnya”.
Imam asy-Syafii juga pernah berpesan kepada muridnya ar-Rabi, “Wahai ar-Rabi, janganlah kamu berbicara tentang perkara yang tidak penting bagimu, karena apabila kamu berbicara satu kata, maka ia akan memilikimu, sedangkan kamu tidak dapat memilikinya.
Imam al-Nawawi berkata:
Hendaknya bagi siapa pun yang ingin berbicara, ia pikir-pikir terlebih dahulu, apabila ucapannya mengandung maslahat, maka silakan. Apabila tidak, maka lebih baik diam.
Semoga kita dapat menjadi pribadi yang mulia yang senantiasa bersyukur dan bertutur kata yang baik.
Mengapa menjaga lisan di era digital itu penting? Karena setiap kata yang diucapkan atau dituliskan memiliki potensi untuk menyebar ke seluruh dunia melalui platform digital. Menjaga lisan di era digital bukan sekadar etika sosial, melainkan wujud keimanan.
Sebagai umat Islam, menjaga lisan adalah bagian dari keimanan dan takwa.
“Berpikir sebelum berbicara dan lebih baik diam jika tidak yakin, adalah ajaran yang harus dipegang teguh”, kata Ustadz Sadam.
Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman