Partai Politik dalam UNCAC: Aktor Kunci dalam Pencegahan Korupsi

Oleh:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)

JAMBI, Beritategas.com – United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) lahir pada tahun 2003 sebagai respons global terhadap meningkatnya ancaman korupsi lintas negara. Konvensi ini menegaskan bahwa korupsi bukan hanya masalah hukum domestik, tetapi juga isu transnasional yang mengancam pembangunan berkelanjutan, demokrasi, dan kepercayaan publik terhadap institusi negara.

Bacaan Lainnya

UNCAC atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi, adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum dan bertujuan untuk mencegah dan memberantas korupsi di seluruh dunia. UNCAC adalah instrumen antikorupsi universal yang paling penting dan komprehensif saat ini.

UNCAC telah diratifikasi oleh lebih dari 180 negara, termasuk Indonesia pada tahun 2006. Namun pernyataan Wakil Menteri Hukum mengejutkan, dalam pemberitaan baru-baru ini bahwa sudah 18 tahun, Indonesia meratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC), tetapi belum sepenuhnya menyesuaikan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Konvensi ini merupakan instrumen hukum internasional yang bersifat legally binding (hard law), bukan sekadar komitmen moral. Indonesia meratifikasinya melalui UU No. 7 Tahun 2006 (Tentang Pengesahan United Natlons Convention Against Corruption, 2003/Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) sehingga berlaku asas pacta sunt servanda (Pasal 26 Konvensi Wina 1969): setiap negara pihak wajib melaksanakan isi perjanjian dengan itikad baik.

Dengan belum adanya penyesuaian dengan ketentuan konvensi tersebut, menjadi pengingat penting betapa masih tertinggalnya agenda pemberantasan korupsi di tanah air.

Padahal, UNCAC mengamanatkan banyak isu hukum strategis seperti:
Pertama ruang lingkup tindak pidana korupsi yang menghendaki kriminalisasi lebih luas, termasuk illicit enrichment (kekayaan tidak wajar), korupsi di sektor swasta, hingga trading in influence.

Kedua, sistem pencegahan UNCAC menuntut adanya mekanisme integritas, transparansi, dan merit system dalam rekrutmen pejabat publik, serta penguatan lembaga pencegahan korupsi secara independen.

Ketiga, pengembalian aset hasil korupsi (asset recovery) UNCAC menekankan prinsip return of assets sebagai elemen fundamental.

Keempat, pengaturan pencegahan korupsi di sektor privat belum terakomodasi optimal dalam UU Tipikor maupun UU terkait lainnya.

Kelima, yang sangat penting, dan akan menjadi fokus artikel ini adalah transparansi pendanaan partai politik, sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (3) UNCAC. Konvensi ini secara tegas mengaitkan korupsi dengan demokrasi, dengan menempatkan partai politik sebagai entitas strategis yang wajib diatur.

Partai politik bukan sekadar organisasi privat, melainkan lembaga publik yang menentukan siapa yang akan memegang kekuasaan negara. Tanpa regulasi transparansi pendanaan, partai politik rentan menjadi “pabrik korupsi” sejak awal, melalui praktik politik uang, sponsor gelap, atau ketergantungan pada oligarki.

Mengapa Partai Politik mendapat atensi khusus?

Pasal 7 ayat (3) UNCAC, menegaskan kewajiban negara untuk: “Meningkatkan transparansi dalam pendanaan partai politik dan calon pada pemilihan umum”. Pertanyaan yang muncul: mengapa partai politik, yang secara formal bukan institusi negara, mendapatkan sorotan khusus dalam rezim hukum antikorupsi global?

Jawabannya sederhana sekaligus tajam, karena partai politik adalah pintu gerbang utama kekuasaan. Dari partai lahir calon pemimpin eksekutif maupun legislatif, dan dari partai pula arah kebijakan publik ditentukan. Jika partai politik keropos oleh pendanaan gelap, maka seluruh bangunan demokrasi akan rapuh.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyadari bahwa akar korupsi sering bersumber dari politik, melalui: Pendanaan politik yang tidak transparan, di mana sumbangan besar dari korporasi atau oligarki dapat membeli kebijakan publik (state capture); Biaya politik yang mahal, yang mendorong politisi mencari dana ilegal, menciptakan lingkaran setan antara korupsi politik dan korupsi birokrasi; dan Kaderisasi kepemimpinan yang pragmatis, di mana calon dipilih karena kekuatan finansial, bukan integritas atau kapasitas.

Teori demokrasi deliberatif (Habermas) menekankan bahwa partai seharusnya menjadi arena diskursus publik, bukan sekadar instrumen transaksi. Sementara itu, ICCPR (Pasal 25) mengakui hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan melalui partai politik.

Jika partai dikuasai uang gelap, maka hak politik rakyat dilanggar secara struktural. Oleh karena itu, UNCAC menempatkan partai politik sebagai aktor kunci dalam pencegahan korupsi.

Sudahkah Pasal 7 Ayat (3) diterapkan?
Dalam konteks Indonesia, harmonisasi dengan Pasal 7 ayat (3) UNCAC sejatinya masih belum tampak jelas. Memang, UU Partai Politik dan UU Pemilu sudah memuat aturan tentang sumber dan batasan dana kampanye maupun dana partai, serta kewajiban audit keuangan.

Namun, implementasi di lapangan masih jauh dari prinsip transparansi dan akuntabilitas yang diharapkan UNCAC:
Pengawasan lemah, laporan keuangan sering hanya formalitas, tanpa audit independen yang serius; Sumbangan tidak transparan, banyak aliran dana kampanye berasal dari sumber tak jelas, seringkali dikaitkan dengan oligarki bisnis; Tidak terintegrasi dengan UU Tipikor, pelanggaran dana politik dianggap administratif, bukan tindak pidana korupsi; dan Money politics marak, praktik serangan fajar dalam pemilu membuktikan lemahnya penerapan Pasal 7 ayat (3).

Skandal-skandal politik terkait dana kampanye yang kerap mencuat membuktikan bahwa regulasi nasional masih lemah. Indonesia perlu menjadikan Pasal 7 ayat (3) ini sebagai agenda prioritas revisi UU, agar partai politik tidak lagi menjadi “blind spot” dalam strategi pemberantasan korupsi.

Evaluasi dari UNCAC Implementation Review Mechanism (IRM) juga memberi catatan bahwa Indonesia belum serius menata transparansi pendanaan politik.
Dibanding negara lain, kita tertinggal jauh.

Secara komparatif, Meksiko melalui Instituto Nacional Electoral (INE) menerapkan pengawasan dan publikasi yang nyaris real-time atas pemasukan dan pengeluaran kampanye; model ini menutup celah “pelaporan di akhir” yang kerap menyamarkan donor besar dan belanja tersembunyi.

Korea Selatan melalui Political Funds Act membatasi sumber dan besaran sumbangan, mewajibkan pembukuan, dan publikasi akuntansi partai secara terbuka serta audit independen—korporasi tidak bebas menyuntik dana tanpa koridor hukum yang ketat.

Jerman lewat Parteiengesetz mewajibkan pengungkapan terbuka untuk sumbangan di atas ambang tertentu, laporan tahunan partai ke publik, dan sistem pendanaan publik yang menyeimbangkan ketergantungan pada donor privat.

Kerangka rujukan OECD menegaskan tiga pilar untuk mencegah policy/state capture: larangan/pembatasan sumber, keterbukaan data yang dapat diakses publik, dan audit independen yang efektif—bukan sekadar formalitas administratif.

Di Indonesia, ketentuan pembukuan dan pelaporan dana politik memang ada dalam UU Partai Politik/UU Pemilu, tetapi masih dominan bersifat administratif dan belum terintegrasi dengan rezim Tipikor; akses publik atas data keuangan, kualitas audit, dan penegakan sanksi substantif masih menjadi titik lemah.

Dengan kata lain, Pasal 7 ayat (3) UNCAC belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Harmonisasi dengan UU Tipikor juga belum terjadi, padahal ini merupakan kewajiban yang melekat sejak ratifikasi tahun 2006.

Mendesak Harmonisasi UU Tipikor dengan UNCAC

Opini publik sering hanya melihat korupsi dari sisi penindakan: KPK menangkap pejabat, jaksa menuntut, hakim memvonis. Tetapi UNCAC mengajarkan bahwa akar korupsi ada di hulu, pada sistem politik itu sendiri.

Selama partai politik dibiarkan bergantung pada sumber dana gelap, selama kaderisasi ditentukan oleh isi tas ketimbang isi kepala, maka revisi UU Tipikor tanpa menyentuh Pasal 7 ayat (3) UNCAC hanya akan jadi tambal sulam.

Ke depan, beberapa langkah mendesak yang perlu dilakukan: pertama, revisi UU Partai Politik dan UU Pemilu agar selaras dengan UNCAC, terutama dalam mengatur audit publik independen terhadap dana politik; kedua, memperkuat peran KPK dan BPK dalam pengawasan keuangan partai; ketiga, memperluas akses publik terhadap laporan keuangan partai secara daring; dan keempat, memberikan sanksi tegas, termasuk diskualifikasi partai atau kandidat, apabila terbukti melakukan pelanggaran serius.

Tanpa reformasi ini, partai politik akan tetap menjadi “black box” yang rawan menjadi sarang korupsi. Indonesia akan terus tertinggal dalam memenuhi kewajiban internasionalnya di bawah UNCAC, dan demokrasi akan rentan dibajak oleh kepentingan oligarki.

Indonesia sudah 18 tahun meratifikasi UNCAC, tetapi belum sungguh-sungguh menata pendanaan partai politik secara transparan. Inilah pekerjaan rumah terbesar: menjadikan partai politik sebagai benteng demokrasi yang bersih, bukan pintu masuk korupsi.

Dengan demikian, harmonisasi UU nasional dengan UNCAC bukan hanya soal kepatuhan hukum internasional, tetapi juga soal menyelamatkan demokrasi dari korupsi sistemik.

Sudah saatnya pembaruan UU Tipikor tidak hanya menyentuh aspek teknis penindakan, tetapi juga menyasar akar struktural korupsi, salah satunya dengan mengatur mekanisme transparansi dan akuntabilitas pendanaan partai politik sesuai amanat UNCAC.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses