Laut China Selatan: Nine Dash line vs UNCLOS

Oleh:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Hukum Laut Internasional Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)

JAMBI, Beritategas.com – Laut Cina Selatan (LCS) kembali menjadi pusat ketegangan maritim. Pada 11–13 Agustus 2025, sebuah insiden dramatis terjadi ketika kapal penjaga pantai Tiongkok melakukan manuver berisiko terhadap kapal patroli Filipina, memicu tabrakan antar-kapal Tiongkok saat melakukan pengejaran. Setelah kejadian tersebut, kapal perang AS USS Higgins juga “diusir” oleh armada militer Tiongkok dari wilayah yang diklaim sebagai kedaulatan historis terutama di wilayah sekitar Pulau Huangyan atau Beting Scarborough yang juga diklaim oleh Filipina.

Bacaan Lainnya

Peristiwa ini mempertegas bahwa kawasan LCS yang seharusnya menjadi mare liberum (lautan bebas) bagi navigasi internasional justru berubah menjadi medan persaingan geopolitik sengit.

Dalam konteks demikian, penting untuk terus menegakkan prinsip-prinsip hukum laut internasional seperti pacta sunt servanda “janji harus ditepati” dan kebebasan navigasi (freedom of navigation) di laut terbuka.

Signifikansi Geopolitik dan Geostrategis
LCS adalah salah satu jalur perdagangan laut terpenting dunia (sea lines of communication). Sekitar 30% perdagangan laut global melewati kawasan ini, termasuk suplai energi dari Timur Tengah ke Asia Timur.

Selain itu, LCS kaya akan cadangan minyak dan gas, serta menjadi salah satu wilayah perikanan terbesar dunia. Karena itu, sengketa LCS tidak hanya soal kedaulatan (sovereignty), tapi juga tentang keamanan energi (energy security), ketahanan pangan, dan dominasi maritim (naval power projection).

Kronologi Sengketa dan Klaim Historis
Sengketa LCS melibatkan negara-negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Indonesia (Laut Natuna Utara), di satu pihak, dan Tiongkok serta Taiwan di pihak lain.

Akar konflik berkisar pada tumpang tindih klaim kedaulatan dan hak berdaulat atas fitur-fitur strategis seperti Kepulauan Spratly yang terdiri dari gugusan pulau, terumbu karang yang menjadi rebutan China, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Taiwan.

Kemudian Kepulauan Paracel, menjadi sengketa China dan Vietnam. Wilayah Beting Scarborough juga di klaim oleh China dan Filipina. Sedangkan Laut Natuna Utara juga berbatasan dengan wilayah yang diklaim oleh China, sehingga beberapa kali juga terjadi ketegangan.

Akar permasalahannya karena pada tahun 1947 Tiongkok mengajukan klaim sepihak berdasarkan “Nine-Dash Line” yang membentang hampir menutupi 80% LCS, sebuah klaim yang berdasar pada “hak historis” dan peta kuno, yang menjadi sumber tumpang tindih dengan ZEE negara-negara ASEAN.

“Nine-dash line (sembilan garis putus-putus) adalah garis batas imajiner yang digambarkan oleh pemerintah China pada peta untuk mengklaim wilayah maritim di Laut China Selatan. Garis ini mencakup sebagian besar Laut China Selatan, termasuk wilayah yang juga diklaim oleh negara-negara lain seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Klaim ini didasarkan pada sejarah dan peta lama, tetapi tidak diakui oleh hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea)” yang mengatur hak-hak dan kewajiban negara di laut. 

Nine-Dash Line vs Putusan Arbitrase Internasional

Klaim “Nine-Dash Line” Tiongkok tidak diakui oleh UNCLOS. Dalam kasus Philippines v. China (PCA, 2016), Permanent Court of Arbitration memutuskan:
1) Tidak ada dasar hukum bagi Tiongkok untuk mengklaim “hak historis” di luar batas-batas UNCLOS,
2) Mayoritas fitur di Kepulauan Spratly hanyalah rocks atau low-tide elevations (Pasal 121(3) UNCLOS) yang tidak dapat menghasilkan ZEE, dan
3) Tindakan Tiongkok melanggar hak berdaulat Filipina di ZEE-nya.
Putusan ini bersifat final dan mengikat (res judicata), namun Tiongkok menolak mengakuinya. Fenomena ini menguji prinsip rule-based order dan legitimasi UNCLOS sebagai constitution for the oceans.

Pembagian Wilayah Laut Menurut UNCLOS
Untuk memahami batas-batas perairan suatu negara, berikut adalah pengaturan tentang rezim hukum laut berdasarkan UNCLOS:
1. Laut Teritorial (Territorial Sea, Pasal 2–3 UNCLOS), hingga 12 mil laut dari garis pangkal, di mana negara memiliki kedaulatan penuh (full souveignity), termasuk ruang udara dan dasar laut, dengan hak lintas damai (innocent passage) bagi kapal asing.
2. Zona Tambahan (Contiguous Zone, Pasal 33 UNCLOS), 12–24 mil laut, yurisdiksi terbatas untuk pencegahan pelanggaran hukum.
3. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (Exclusive Economic Zone, Pasal 56–57 UNCLOS). ZEE merupakan batas wilayah sepanjang 200 mil yang diukur dari pangkalan laut dan telah ditetapkan oleh perundang-undangan yang berlaku. Negara yang memiliki wilayah tersebut berhak atas semua kekayaan alam yang ada di dalamnya, namun tetap terbuka untuk freedom of navigation.
4. Landas Kontinen (Pasal 76 UNCLOS), dasar laut hingga 200 mil laut atau lebih berdasarkan kriteria geologi.
Sebagian besar wilayah yang diklaim Tiongkok berada di ZEE negara-negara ASEAN, menciptakan irisan klaim yang memicu sengketa. Dalam prinsip klasik, ZEE adalah bagian dari mare liberum untuk navigasi, bukan mare clausum yang dikuasai sepihak.

Opsi Penyelesaian Sengketa: Diplomasi ASEAN–Tiongkok melalui DOC dan COC
UNCLOS (Pasal 287–298) menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa, seperti ITLOS, ICJ, atau arbitrase. Namun, negara cenderung memilih jalur negosiasi untuk menghindari risiko hukum.

Dalam kasus LCS, ASEAN telah memperkuat perannya melalui mediasi kolektif, memperkuat komitmen ASEAN centrality, dan melibatkan pihak ketiga yang netral.
Declaration on the Conduct (DOC, 2002) adalah inisiatif soft law pertama antara ASEAN dan Tiongkok. Ia bertujuan membangun confidence-building measures, kerja sama maritim, serta membuka jalan untuk COC. DOC mengatur agar pihak-pihak tak melakukan tindakan eskalatif seperti penghunian pulau tak berpenghuni Kyoto Review of Southeast Asia.

Meski dinilai terbatas karena tak mengikat dan tanpa mekanisme monitoring, DOC tetap menjadi referensi diplomatik dan moral dalam beberapa insiden dan negosiasi lanjutan.

Code of Conduct (COC) diharapkan menjadi instrumen hard law, namun proses penyusunannya berjalan lambat. Indonesia memprakarsai penyusunan COC sejak pertemuan di Bali (Februari 2017) dan Siem Reap Kamboja (Maret 2017), menghasilkan kerangka kerja awal melalui Kelompok Kerja Bersama ASEAN–Tiongkok.

Selain itu, menurut laporan pada Juni 2025, Indonesia kembali mengusulkan percepatan implementasi COC berdasar UNCLOS.

Guspurla Koarmada I
Dalam konteks Indonesia, langkah strategis untuk menegaskan kedaulatan dan hak berdaulat di kawasan perairan dilakukan dengan penerbitan peta baru pada tahun 2017 oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Dalam peta tersebut, Pemerintah Indonesia secara resmi mengubah nama Laut Cina Selatan menjadi Laut Natuna Utara, khususnya pada wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia yang berbatasan dengan Kepulauan Natuna.

Tujuannya jelas: mempertegas kedaulatan, memberikan kepastian hukum, serta menjaga keamanan dan kepentingan nasional terutama terkait sumber daya perikanan dan energi (migas) yang bernilai strategis di kawasan perairan yang rawan sengketa.

Langkah simbolik ini diiringi dengan upaya konkret di lapangan, yakni memindahkan Markas Komando gugus Tempur Laut Komando Armada I (Guspurla Koarmada I) ke Ranai, kepulauan Natuna. Pemerintah mengerahkan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI), Kapal Pengawas Perikanan, serta membangun pangkalan militer terintegrasi di Natuna Besar.

Kehadiran fisik ini bukan hanya menjadi alat pertahanan, tetapi juga menjadi penegasan kepada dunia internasional bahwa Indonesia serius menjaga wilayah kedaulatannya dari ancaman pelanggaran, baik berupa illegal fishing maupun klaim sepihak melalui konsep nine-dash line yang diajukan Tiongkok.

Dengan demikian, Indonesia tidak hanya mengedepankan jalur diplomasi melalui ASEAN, DOC, dan COC, tetapi juga mengimbangi dengan strategi hard power berupa pembangunan armada laut dan penguatan infrastruktur pertahanan.

Dua jalur ini diplomasi dan pertahanan berjalan beriringan, menjadi bentuk implementasi nyata dari doktrin politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, di mana Indonesia aktif mendorong stabilitas kawasan namun tetap tegas dalam menjaga kedaulatan nasionalnya.

Penutup
Laut Cina Selatan merupakan ujian krusial bagi prinsip law-based maritime order. Kepastian hukum tidak hanya terletak pada teks UNCLOS, tapi juga pada keberanian negara-negara, terutama ASEAN, untuk menegakkannya dengan komitmen diplomasi, prinsip peaceful settlement, dan strategi mediasi aktif. Tanpa itu, LCS akan tetap menjadi lautan sengketa, bukan lautan persahabatan.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses