Oleh:
Assist Prof. Mochammad Farisi
Dosen Hukum Internasional UNJA, Peneliti Hak Politik dan Kepemimpinan Etis, Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)
JAMBI, Beritategas.com – Dalam hiruk pikuk demokrasi prosedural, kita sering lupa bahwa inti dari kekuasaan bukanlah siapa yang menang, tetapi bagaimana ia memimpin. Di tengah krisis kepercayaan terhadap elite politik, sosok seperti Kang Dedi Mulyadi (KDM) menghadirkan harapan akan wajah kepemimpinan baru bukan sekadar populer, tetapi hikmat dan bijaksana.
KDM: Pemimpin yang Membumi dan Melangit
Viral di berbagai platform media sosial, gaya kepemimpinan KDM bukan hanya menarik karena gaya bahasanya dan cara kerjanya yang sat-set, gerak cepat, serta aksi sosialnya yang menyentuh. Ia membangun citra sebagai pemimpin yang welas asih, rajin turun ke masyarakat, problem solver sejati, dan transparan dalam anggaran.
Lebih dari itu, KDM punya rekam jejak panjang: dari Wakil Bupati, Bupati, anggota DPR RI, hingga tokoh kebudayaan yang meresapi filsafat Sunda. Dalam diri KDM, kita menyaksikan integrasi antara kebijaksanaan lokal dan kapasitas manajerial modern. (ini otokritik terhadap kepala daerah di Jambi yang dapat gelar adat tetapi tidak paham filosofi adatnya).
Salah satu terobosan pentingnya ialah di bidang keuangan daerah, dimana Ia melakukan efisiensi dan perubahan postur anggaran APBD: 70% untuk rakyat dan hanya 30% untuk belanja pegawai.
Ini bukan angka, tapi wujud nyata dari filosofi “pemerintah harus hadir untuk rakyat, bukan untuk dirinya sendiri.”
Tugu 50 Juta dan Skandal Mental Koruptif
Sejalan dengan efisiensi dan efektifitas anggaran yang diterapkan KDM, publik dikejutkan oleh viralnya tugu biawak di Wonosobo yang hanya menelan anggaran Rp50 juta namun hasilnya apik dan artistik.
Ini menampar keras proyek-proyek tugu miliaran rupiah di banyak daerah yang hasilnya memalukan, miskin rasa, tanpa estetika, dan sarat dugaan mark-up. Apa yang salah?
Yang salah bukan sekadar desain, melainkan mentalitas dan moralitas pengguna anggaran. Seharusnya APBD digunakan sebagai alat transformasi sosial, namun sebaliknya, banyak pejabat daerah masih menjadikan APBD sebagai “ladang belanja pribadi”, seperti kasus SPPD fiktif DPRD Prov. Jambi, pengadaan barang dan jasa, serta mark-up proyek, Di sini, kita melihat pentingnya pemimpin yang tidak hanya demokratis secara prosedural, tapi bijaksana secara etis.
Kepemimpinan yang Menjiwai Derita Rakyat
Meskipun tidak absolut, sejarah memperlihatkan bahwa pemimpin yang berasal dari bawah, dari rakyat kecil yang pernah mengalami kesusahan, bekerja keras sejak muda, dan bergelut langsung dengan realitas hidup rakyat, umumnya akan lebih menjiwai penderitaan masyarakat saat memimpin. Mereka memimpin bukan karena ambisi, tapi karena panggilan nurani.
KDM adalah contoh nyata. Latar belakangnya yang sederhana membuat ia tidak menjadikan jabatan sebagai tujuan, tetapi sebagai sarana pelayanan. Ia tahu bagaimana rasanya hidup susah, sehingga kebijakannya tidak elitis. Ia bukan pemimpin dari menara gading, tetapi dari jalanan, dari ladang, dari rumah-rumah rakyat.
Asas Kepemimpinan Hikmat dan Bijaksana
Gagasan ini bukan baru. Plato (427-347 SM) dalam The Republic menyebut pemimpin sejati sebagai philosopher-king—raja filsuf, bukan sekadar politisi.
Aristoteles (384-322 SM) menekankan phronesis—kebijaksanaan praktis, bukan sekadar teknokrasi. Thomas Aquinas (1225-1274 M) dalam Summa Theologiae menegaskan bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kekerasan legal.
Dalam Islam, Para mufasir abad (700-1300 M) seperti: Ibrahim Basyumi mengartikan hikmah sebagai kemampuan mengendalikan nafsu perbuatan tercela menjadi perilaku terpuji; Ibnu Manzu’r memaknainya sebagai ketelitian dalam ilmu dan amal sehingga mampu menghindari kezaliman; Malik bin Anas menyebutnya “pemahaman yang mendalam terhadap agama Allah serta mengikuti ajarannya”;
Ibnu Mas’ud mendefinisikan sebagai ilmu tentang halal dan haram, kebenaran dalam ucapan dan tindakan (Qs. an-Nahl 16); dan Rasyid Ridla mengartikan iman yang kokoh mengarahkan perbuatan sesuai kebenaran. Intinya, pemimpin harus memiliki tingkat ketaqwaan yang tinggi, bertindak dengan menggunakan hati nurani yang adil, jujur, dan takut kepada Allah SWT.
Konfusius (551-479 SM) mengajarkan kepemimpinan dengan keteladanan moral (de), Confucius mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus memiliki ren (kebaikan hati) dan zhi (kebijaksanaan) untuk menjadi teladan moral.
Dalam The Analects, Confucius mengatakan: “Pemimpin yang bijak adalah dia yang mampu menciptakan harmoni dalam rakyatnya, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan teladan moralnya”.
Di Jepang prinsip kebijaksanaan dikenal dengan konsep Toku, dimana kebajikan mengarahkan seseorang mengejar kebaikan bersama dan keunggulan moral sebagai cara hidup.
Di India konsep ini dikenal dengan istilah Yukta, dimana kebijaksaan berarti perbuatan yang ‘tepat’ atau ‘pantas’ dilakukan.
Misalnya, pemimpin politik percaya bahwa tujuan bernegara bukan mencari kekayaan pribadi tetapi melayani dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka ia akan berintegritas dan tidak akan serakah.
Kembali ke Pancasila: Menghidupkan volksgesit Sila Keempat
Sila Keempat Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Frasa ini bukan slogan kosong. Ia menuntut bahwa demokrasi Indonesia bukan sekadar hasil pemilu, tetapi buah dari proses deliberatif, penuh kebijaksanaan, dan berakar pada kearifan lokal.
Kepemimpinan seperti KDM, dalam banyak hal, merepresentasikan aktualisasi sila keempat ini. Ia tidak hanya mewakili, tetapi memimpin dengan kebijaksanaan yang hidup. Ia bukan pemimpin yang memerintah dari atas, tetapi membangun dari bawah. Ia tidak hanya memilih efisiensi anggaran, tapi juga merakyatkan anggaran.
Waktunya Mengubah Arah: Demokrasi Butuh Jiwa, Bukan Hanya Suara
Demokrasi tidak boleh berhenti pada suara mayoritas. Ia harus naik kelas: menjadi demokrasi yang etis, substantif, dan berorientasi pada kebajikan.
Maka, sudah saatnya asas kepemimpinan yang hikmat dan bijaksana dijadikan prinsip hukum, bukan sekadar nilai moral. Baik dalam Undang-Undang Partai Politik, maupun dalam etika politik nasional.
Tugu biawak Rp.50 juta dan gaya kepemimpinan KDM mengajarkan dua hal:
Pertama, kualitas tidak selalu datang dari mahalnya biaya, tetapi dari benarnya niat dan bijaknya pemimpin.
Kedua, ketulusan, akal sehat, dan keberpihakan pada rakyat kecil jauh lebih penting daripada citra dan kemewahan.
Mari kita bangun demokrasi yang tidak hanya prosedural, tapi benar-benar menghadirkan pemimpin yang bisa dipercaya. Sudah saatnya kita memilih dan membentuk pemimpin yang bukan hanya tahu jalan, tapi juga pernah berjalan di jalan yang sama dengan rakyatnya.
Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman