Oleh:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M.
Dosen Hukum Laut Internasional Universitas Jambi
Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (PUSAKADEMIA)
JAMBI, Beritategas.com – Ditengah memanasnya konflik di Timur Tengah, Insiden pelayaran kapal induk bertenaga nuklir Amerika Serikat USS Nimitz yang melintasi perairan Indonesia baru-baru ini menarik perhatian publik. Kapal tersebut berlayar dari Laut Cina Selatan menuju Selat Malaka, lalu ke Samudra Hindia, diduga menuju kawasan Timur Tengah. Menjadi viral karena dilaporkan mematikan transponder dan tidak mengirimkan data lokasi, hal ini dikonfirmasi oleh beberapa situs pelacak kapal dunia, termasuk Marine Vessel Traffic. Tindakan ini memunculkan pertanyaan penting dari perspektif hukum laut internasional, khususnya terkait dengan hak lintas kapal perang di wilayah negara kepulauan seperti Indonesia.
Indonesia sebagai Archipelagic State dan Jalur ALKI
Menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS 1982), Indonesia diakui sebagai negara kepulauan (archipelagic state). Pasal 46 dan 47 UNCLOS menegaskan bahwa negara kepulauan berhak menarik garis pangkal kepulauan dan mengklaim laut di antara pulau-pulaunya sebagai perairan kepulauan.
Namun, hak ini datang dengan kewajiban. Indonesia wajib menyediakan jalur laut tertentu yang disebut Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) untuk kepentingan pelayaran internasional. ALKI merupakan pengakuan internasional atas hak lintas transit (right of archipelagic sea lanes passage), yang harus diberikan oleh Indonesia kepada kapal, termasuk kapal perang, selama memenuhi syarat.
Hak Lintas Transit: Hak Internasional Kapal Asing
UNCLOS memberikan hak lintas transit (Pasal 53), yakni hak semua kapal dan pesawat asing untuk melintasi secara normal dan cepat melalui ALKI tanpa hambatan, dari satu bagian laut lepas ke bagian lain. Lintas transit berbeda dari lintas damai (innocent passage) yang berlaku di laut teritorial; lintas transit lebih luas karena tidak bisa ditangguhkan oleh negara pantai dan mencakup hak navigasi dan overflight (terbang lintas udara).
Dalam kasus USS Nimitz, pelayaran dari Laut Cina Selatan menuju Samudra Hindia melalui Selat Malaka dan ALKI I menunjukkan bahwa kapal tersebut kemungkinan besar melakukan lintas transit, bukan lintas damai.
Syarat Hukum bagi Kapal Perang Melintas di ALKI
UNCLOS memang mengakui hak lintas transit untuk kapal perang, termasuk kapal induk sekelas USS Nimitz. Namun, pelaksanaannya harus memenuhi sejumlah ketentuan yang tegas, antara lain: Melaksanakan pelayaran dengan cepat dan terus-menerus, tidak melakukan ancaman atau penggunaan kekuatan, tidak melakukan latihan militer yang mengganggu perdamaian, menyalakan alat navigasi dan komunikasi, termasuk transponder, sesuai Pasal 39 UNCLOS, Menghormati peraturan Indonesia sejauh tidak menghambat hak lintas transit.
Artinya, walaupun USS Nimitz berhak melakukan pelayaran melintasi ALKI, pemadaman transponder dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap prinsip pelayaran yang “normal dan terus menerus”, serta dapat melanggar kewajiban menjaga komunikasi.
Pemadaman transponder oleh USS Nimitz, walaupun mungkin untuk alasan taktis atau keamanan militer, bisa dianggap sebagai bentuk pelayaran yang tidak transparan dan menciptakan potensi pelanggaran terhadap prinsip “due regard” terhadap negara pantai (Indonesia). Ini terutama penting karena kapal tersebut melintasi jalur yang dekat dengan instalasi sipil, lalu lintas padat, dan wilayah kedaulatan nasional.
Pentingnya Pemantauan TNI untuk Menjaga Kedaulatan
Dalam konteks ini, TNI AL, telah menjalankan peran strategis dengan memantau pergerakan kapal perang asing. Walaupun Indonesia tidak bisa melarang hak lintas transit yang sah, pemantauan aktif menunjukkan bahwa Indonesia tidak abai terhadap pelayaran asing dan bentuk nyata menjaga kedaulatan laut, sekaligus pesan diplomatik bahwa Indonesia mengawasi secara cermat setiap aktivitas asing di wilayah perairannya.
Kedaulatan dalam Keterbukaan
Kedaulatan maritim Indonesia bukanlah soal menutup jalur pelayaran internasional, tetapi mengatur dan mengawasi pelaksanaannya sesuai dengan prinsip hukum laut internasional. Indonesia wajib membuka jalur lintas transit, namun juga berhak memastikan bahwa pelayaran asing, termasuk kapal perang seperti USS Nimitz, berjalan sesuai norma internasional dan tidak menimbulkan risiko bagi keamanan nasional.
Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman