Oleh:
Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Hukum Internasional FH-UNJA & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan
JAMBI, Beritategas.com – Di berbagai forum akademik maupun diskusi kemasyarakatan dengan tokoh- tokoh adat, saya selalu menyampaikan bahwa sistem hukum di Indonesia dipengaruhi oleh perpaduan empat pilar utama, yaitu: sistem hukum Eropa Kontinental (Civil Law), hukum Islam, hukum adat, dan hukum internasional.
Dalam konfigurasi ini, saya secara konsisten menyampaikan bahwa hukum adat layak diutamakan sebagai solusi utama dalam penegakan hukum di tingkat lokal. Sebab, hukum adat tidak hanya mengatur perilaku, tetapi juga memuat filosofi yang holistik berbasis nilai moral, sosial, dan spiritual yang hidup dalam masyarakat.
Di Provinsi Jambi, misalnya, adagium “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” menjadi prinsip dasar tata kehidupan. Ini menunjukkan bahwa hukum adat bukan sekadar norma lokal, tetapi bersenyawa dengan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan yang luhur.
Dalam masyarakat adat, hukum tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi untuk memulihkan tatanan sosial yang rusak, mengembalikan harmoni, dan menyadarkan semua pihak akan tanggung jawab kolektif.
Hukum Adat dan Filsafat Keadilan
Dari perspektif filsafat hukum, pemikiran Gustav Radbruch relevan untuk dijadikan dasar, bahwa hukum harus berpijak pada nilai-nilai seperti keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Hukum adat menonjol dalam dua aspek pertama karena ia bekerja dengan pendekatan kultural dan dialogis, bukan represif.
Keadilan versi hukum adat adalah keadilan substantif, yang berakar dari kesepakatan bersama, bukan sekadar hitam-putih pasal pidana.
John Rawls dalam Theory of Justice menekankan pentingnya prinsip keadilan sebagai fairness dan juga dalam masyarakat adat.
Keadilan semacam ini diwujudkan melalui musyawarah mufakat, pengakuan kesalahan, ganti rugi dan pengampunan sosial. Hukum pidana formal, sebaliknya, kerap berorientasi pada pembalasan dan seringkali mengabaikan peran komunitas dalam menyembuhkan luka sosial.
Sementara itu, pendekatan restorative justice yang kini digalakkan oleh Mahkamah Agung melalui Perma No. 1 Tahun 2024 dan Kejaksaan Agung melalui Peraturan Kejaksaan RI No. 15 Tahun 2020, sebenarnya telah lama dipraktikkan oleh komunitas adat.
Dalam masyarakat adat, penyelesaian konflik seperti; kekerasan, pencurian, perkelahian, atau perselisihan tanah, narkotika dll, dilakukan melalui musyawarah yang melibatkan pelaku, korban, tokoh adat, alim ulama, keluarga dan masyarakat.
Proses ini menciptakan rasa keadilan substantif yang lebih diterima oleh masyarakat. Di sisi lain, kelebihan penting dari hukum adat adalah minimnya potensi praktik pungli dan mafia peradilan.
Dalam mekanisme penyelesaian hukum adat, prosesnya berlangsung secara terbuka, partisipatif, dan berbasis musyawarah mufakat. Tidak ada transaksi tersembunyi, suap, sogok, dan “permainan di balik meja” lainnya, karena sanksi adat bertumpu pada nilai rasa malu, aib keluarga, dan tanggung jawab kolektif.
Berbeda dengan sistem hukum pidana formal, tidak jarang kita menyaksikan bagaimana oknum penegak hukum terlibat dalam jual beli kasus, intervensi kekuasaan, atau proses yang tumpul ke atas tajam ke bawah.
Disinilah hukum adat sebagai alternative dispute resolution yang lebih berintegritas dan berakar kuat dalam struktur sosial masyarakat.
Sanksi Sosial yang Efektif dan Rasa Malu Kolektif
Salah satu keunggulan hukum adat adalah efektivitas sanksi sosial yang kuat. Dalam masyarakat adat di Jambi, apabila seorang anak tertangkap karena narkoba, ia tidak hanya diadili secara individual, tetapi disidang dalam forum adat yang menghadirkan seluruh keluarga besar.
Bayangkan jika pelaku adalah cucu seorang tokoh agama, keponakan pejabat, atau anak guru. Maka, rasa malu itu bukan hanya milik pelaku, tapi juga menampar keluarga besar.
Rasa malu kolektif ini menjadi kontrol sosial yang sangat efektif. Maka tak heran, masyarakat adat jauh lebih peduli terhadap perilaku anak muda di lingkungannya.
Setiap anggota keluarga merasa bertanggung jawab untuk saling menjaga agar tidak mencoreng marwah keluarga. Nilai inilah yang sulit ditemukan dalam sistem pidana formal yang cenderung individualistik dan tidak menyentuh akar sosial.
Efektifitas Hukum Adat di Beberapa Wilayah
Contoh keberhasilan pendekatan hukum adat banyak kita jumpai. Di Papua, konflik antar-suku diselesaikan melalui mekanisme adat yang melibatkan upacara perdamaian dan ganti rugi adat. Di Bali, Perarem digunakan untuk menertibkan perilaku warga. Di Kalimantan Barat, masyarakat Dayak menggunakan forum Kerapatan Adat untuk menyelesaikan sengketa. Di Minangkabau, penyelesaian kasus perkelahian remaja melalui Kerapatan Adat Nagari dianggap lebih efektif dan diterima masyarakat.
Di Jambi sendiri, sejumlah desa adat masih menjaga praktik penyelesaian hukum berbasis adat untuk kasus seperti pencurian ringan, kecelakaan, perkelahian, bahkan konflik antar warga.
Penyelesaiannya dilakukan dengan prinsip musyawarah, kehadiran tokoh adat, dan restitusi sosial. Hasilnya, ketertiban sosial tetap terjaga tanpa perlu membebani lembaga peradilan formal.
Selain untuk menyelesaikan kasus, untuk pemilihan kepala desa, di masyarakat adat Semerap Kerinci harus mendapat rekomendasi adat dari Depati dan Nenek Mamak, ini bukti bahwa hukum adat efektif menyaring calon pemimpin yang mampu menjaga nilai luhur kearifan lokal masyarakat.
Pengakuan Negara dan Harapan kepada Ketua RT
Secara konstitusional, hukum adat mendapat tempat yang sah. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup.”
Bahkan Undang-Undang Desa No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah memberikan ruang kelembagaan bagi masyarakat hukum adat untuk menjalankan hukum adat secara mandiri, selama tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dan konstitusi.
Di Jambi, harapan terhadap revitalisasi hukum adat semakin terbuka lebar. 1.650 Ketua RT yang baru dilantik serentak, dikukuhkan pula sebagai Datuk/Datin, bukan hanya sebagai simbol, tapi sebagai pemangku adat tingkat lokal.
Ini membuka jalan bagi RT untuk menjadi perpanjangan tangan lembaga adat dalam menyelesaikan pelanggaran sosial di lingkungan masing- masing. RT kini tidak hanya mengurus administrasi, tetapi juga menjaga kehormatan sosial dan adat di wilayahnya.
Dimensi Internasional: Hukum Adat dan Pengakuan Global Penting untuk disadari bahwa hukum adat juga mendapatkan tempat terhormat dalam hukum internasional.
Pengakuan terhadap living law sebagai sumber hukum yang sah terlihat jelas dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP) 2007. Pasal 27 UNDRIP menegaskan bahwa sistem hukum adat masyarakat adat harus diakui dan dihormati oleh negara dalam proses penyelesaian konflik dan pengakuan hak- hak mereka.
Selain itu, dalam konteks keadilan global, prinsip complementarity yang diadopsi oleh International Criminal Court (ICC) menyatakan bahwa sistem hukum lokal, termasuk hukum adat, harus diberi kesempatan terlebih dahulu untuk menyelesaikan perkara.
Ini memperkuat posisi bahwa hukum adat bukanlah pelengkap atau alternatif inferior, melainkan elemen utama dalam sistem hukum berlapis.
Dari sudut pandang hak asasi manusia, right to culture yang diatur dalam
Pasal 27 ICCPR dan Pasal 15 ICESCR mengafirmasi hak masyarakat adat untuk mempertahankan sistem nilai dan hukum mereka sendiri.
Negara bahkan dianggap melanggar kewajiban internasionalnya jika menghapus atau menghambat praktik hukum adat yang hidup dan tidak bertentangan dengan hak asasi.
Selanjutnya, prinsip non-discrimination dalam Convention on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) dan berbagai konvensi HAM lainnya menuntut negara untuk tidak memaksakan satu sistem hukum yang tidak sesuai dengan budaya masyarakat lokal.
Justru sebaliknya, akses keadilan yang setara (equal access to justice) berarti membuka ruang hukum adat sebagai saluran sah dalam menyelesaikan perkara.
Dalam General Comment No. 23 Komite HAM PBB, dinyatakan bahwa negara harus melindungi keberlanjutan sistem hukum tradisional masyarakat adat selama tidak bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia. Ini semakin menegaskan bahwa hukum adat bukanlah warisan masa lalu, tetapi bagian dari komitmen internasional yang hidup dan berkembang.
Sudah saatnya kita memandang hukum adat sebagai legal heritage yang bukan hanya layak dipertahankan, tetapi juga ditingkatkan dan diarusutamakan. Bukan hanya demi efektivitas penegakan hukum, tetapi juga demi keadilan sosial yang lebih bermartabat, dan komitmen Indonesia terhadap prinsip-prinsip hukum internasional yang inklusif dan berbasis nilai- nilai lokal.
Penutup
Sudah saatnya Indonesia menempatkan hukum adat sebagai pilar utama dalam penegakan keadilan sosial. Bukan sebagai pelengkap, bukan pula sekadar romantisme budaya, tapi sebagai sistem hukum hidup (living law) yang mampu menjawab keresahan publik terhadap keadilan yang terlalu formalistik dan berjarak.
Kita perlu kembali pada akar.
Keadilan tidak selalu lahir dari pasal dan palu sidang. Di banyak tempat di Nusantara ini, keadilan lahir dari tikar musyawarah, dari petuah para datuk, dan dari air mata maaf yang jujur.
Hukum adat adalah jalan pulang bagi keadilan yang manusiawi dan bermartabat. Mari beri ruang seluas-luasnya agar hukum yang hidup dalam masyarakat ini tidak mati oleh formalitas yang kering makna.
Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman











