Oleh:
Mochammad Farisi, LL.M – Dosen Hukum Internasional, FH-UNJA & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)
JAMBI, Beritategas.com – Demonstrasi adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi. Ia merupakan “ventilasi demokrasi” ketika suara rakyat tidak didengar melalui mekanisme formal. Namun, seringkali demo di Indonesia berubah wajah: dari yang seharusnya damai dan bermartabat, menjadi ricuh bahkan anarkis. Padahal, sejatinya demo adalah mekanisme koreksi sosial, bukan panggung kekerasan.
Kenapa hal ini terus berulang?
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, setidaknya ada sebelas sebab utama.
Pertama, memang ada demo yang disengaja untuk menciptakan anarki. Tidak semua aksi massa murni datang dari keresahan rakyat. Ada pula yang sejak awal memang dirancang untuk membuat kekacauan. Pola ini biasanya bisa dilihat dari provokasi terstruktur, adanya kelompok yang memicu benturan dengan aparat, hingga upaya merusak fasilitas publik agar pesan chaos lebih menonjol ketimbang substansi tuntutan.
Kedua, ditunggangi kelompok tertentu. Ada demonstrasi yang awalnya damai, tapi kemudian ditunggangi kelompok yang punya agenda tersembunyi. Mereka tidak benar-benar memperjuangkan substansi isu, melainkan memanfaatkan momentum untuk kepentingan politik, ekonomi, bahkan kriminal. Akibatnya, wajah demokrasi jadi ternodai oleh perilaku destruktif segelintir pihak.
Ketiga, manajemen aksi yang buruk. Demo yang baik perlu manajemen massa yang tertib: penanggung jawab jelas, jalur komunikasi dengan aparat terbuka, serta ada kontrol internal. Banyak aksi ricuh karena panitia tidak mampu mengendalikan arus emosi ribuan orang. Tanpa komando yang tegas, kerumunan bisa berubah menjadi kerusuhan.
Keempat, fenomena FOMO dan budaya konten. Generasi digital kerap hadir bukan karena benar-benar memahami substansi tuntutan, melainkan sekadar fear of missing out (FOMO). Ada yang ikut karena “ingin viral” atau sekadar mencari konten. Ironisnya, mereka sering kali menjadi yang paling emosional dan mudah terpancing provokasi. Demonstrasi pun kehilangan esensi, berubah jadi arena tontonan.
Kelima, media sosial turut memperburuk situasi. Algoritma media sosial lebih sering mempromosikan emosi daripada data. Konten provokatif, narasi benci, dan video bentrokan lebih cepat viral dibandingkan pernyataan substansial.
Keenam, lemahnya literasi demokrasi. Banyak orang memahami demo sebatas “turun ke jalan,” padahal substansinya adalah menyampaikan aspirasi dengan cara bermartabat. Ketika literasi demokrasi rendah, aspirasi justru diekspresikan dengan amarah, bukan argumentasi.
Faktor yang Memperburuk Situasi
Selain kelima faktor-faktor di atas (anarki disengaja, penunggang isu, manajemen buruk, FOMO, dll), ada pula sejumlah problem struktural yang memperparah kericuhan.
Ketujuh, statemen atau respon pemerintah dan DPR yang lamban dan tidak empati, tidak meminta maaf, justru berkata kasar, merendahkan, menantang, dan memancing emosi. Kebijakan yang salah dan menjadi akar masalah tidak dikoreksi tapi justru semakin menjadi-jadi.
Kedelapan, respons negara yang represif. Dalam hukum hak asasi manusia internasional, negara tidak hanya wajib mengawasi, tetapi juga memfasilitasi demonstrasi damai. Namun, sering kali aparat lebih menonjolkan pendekatan keamanan dibandingkan mediasi. Akibatnya, ketegangan meningkat. Dalam demo beberapa hari terakhir ini, di beberapa daerah yang pemerintah dan aparatnya merespon dengan cepat dan empati terbukti lebih kondusif dan kerusuhan tidak meluas, karena sejatinya rakyat hanya ingin ditemui dan di dengar aspirasinya.
Kesembilan, budaya politik kita juga masih sarat kekerasan. Sejarah politik Indonesia, dari 1966 hingga 1998, menunjukkan jejak kuat bahwa aksi massa identik dengan kekerasan. Pola ini membentuk “memori kolektif” bahwa demo selalu berarti ricuh.
Kesepuluh, krisis representasi politik, ketidakpercayaan masyarakat pada partai politik dan parlemen membuat demonstrasi menjadi kanal utama aspirasi. Ketika lembaga formal tidak responsif, akhirnya rakyat lebih memilih turun ke jalan. Partai politik dan wakil rakyat tidak menjalankan fungsinya sebagai agregasi kepentingan masyarakat tapi justru kepentingan elit dan menikmati kemewahan dari keringat pajak rakyat.
Kesebelas, faktor ekonomi. Kondisi dan kesenjangan ekonomi menjadikan massa menjadi rentan dan mudah diprovokasi. Selain karena sudah muak melihat pejabat yang korupsi dan berfoya-foya diatas penderitaan rakyat, disisi lain fenomena “demo bayaran” juga tidak bisa diabaikan.
Bagaimana Manajemen Demonstrasi yang Benar?
Jika tidak ingin demo selalu berujung ricuh, kita butuh manajemen demonstrasi yang lebih sehat.
Ada beberapa kunci:
Pertama, Transparansi & Substansi. Aspirasi harus jelas, berbasis data, bukan sekadar ikut-ikutan;
kedua, Organisasi & Tata Kelola.
Demo harus memiliki penanggung jawab, koordinator lapangan, serta jalur komunikasi dengan aparat;
ketiga, Dialog dan Mediasi.
Aksi massa harus menjadi pintu masuk dialog, bukan pengganti dialog. Pemerintah wajib membuka kanal komunikasi, bukan hanya mengandalkan aparat keamanan;
Keempat, Budaya Politik Bermartabat. Berdemokrasi artinya menghargai perbedaan pendapat, menyampaikan kritik tanpa merusak, dan membangun solusi Bersama;
kelima, Partai Politik Responsif. Partai sebagai saluran utama aspirasi rakyat harus lebih terbuka, bukan justru abai sehingga rakyat turun ke jalan.
Standar HAM Internasional tentang Hak Berdemonstrasi
Sebagai dosen hukum internasional saya ingin menjelaskan Standar HAM Internasional tentang Hak Berdemonstrasi dan contoh penanganan demostrasi dari berbagai negara Dalam hukum internasional, hak untuk berkumpul secara damai (right to peaceful assembly) merupakan bagian dari hak sipil dan politik yang dilindungi.
Hal ini tertuang jelas dalam:
Pasal 21 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR): “Hak untuk berkumpul secara damai diakui. Tidak seorang pun boleh dibatasi dalam menggunakan hak ini, kecuali pembatasan yang diberlakukan berdasarkan hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional, keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan atau moral publik, atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain.”
Pasal 21 ini kemudian juga dijelaskan lebih lanjut dalam General Comment No. 37 (2020) dari Komite HAM PBB. Dokumen ini menegaskan bahwa negara bukan hanya dilarang menekan, tetapi justru berkewajiban aktif memfasilitasi unjuk rasa damai. Misalnya: 1) Menyediakan ruang publik (jalan, taman, alun-alun) untuk unjuk rasa. 2) Melindungi demonstran dari kelompok kontra-demo yang bisa menimbulkan kekerasan. 3) Memberi akses pada penyandang disabilitas untuk ikut aksi. 4) Tidak memutus akses internet atau menyensor konten terkait aksi damai. 5) Membatasi penggunaan kekuatan aparat hanya sebagai upaya terakhir, dengan prinsip necessity and proportionality.
Maksud “Negara Wajib Memastikan, Bukan Menekan”
Negara tidak boleh menganggap demo sebagai ancaman semata. Dalam banyak kasus, aparat justru bersikap represif: membubarkan, membatasi izin, bahkan melakukan kekerasan fisik. Padahal, unjuk rasa damai adalah hak, bukan pelanggaran hukum. Negara harus proaktif memfasilitasi. Misalnya, dengan menyiapkan jalur lalu lintas alternatif agar demo tidak mengganggu publik, atau dengan berdialog sebelum aksi agar ada kesepahaman.
Negara hanya boleh membatasi secara ketat. Pembatasan unjuk rasa hanya sah jika benar-benar diperlukan (necessary) dan sebanding dengan tujuan (proportionate). Tidak boleh ada pembatasan sewenang-wenang dengan alasan “stabilitas” atau “ketertiban” yang kabur. Negara harus menjamin keamanan demonstran. Bukan hanya mengawasi, tetapi memastikan mereka aman dari provokasi, kekerasan massa tandingan, maupun tindakan aparat yang berlebihan.
Pelajaran dari Dunia: Mengelola Demonstrasi Damai
Demonstrasi tidak harus berakhir ricuh. Sejumlah negara telah membuktikan bahwa unjuk rasa besar dapat berlangsung damai sepanjang negara hadir sebagai fasilitator, bukan antagonis.
Pertama, Inggris.
Dalam berbagai aksi besar seperti Climate Strike dan protes Anti-Brexit, pemerintah tidak serta-merta membubarkan massa meskipun mereka memblokir jalan utama London.
Polisi Inggris menerapkan prinsip facilitate, not frustrate: tugas utama aparat adalah memfasilitasi agar hak berkumpul damai berjalan lancar. Mereka berperan sebagai mediator, pengatur lalu lintas, dan pelindung. Pembatasan hanya diberlakukan jika ada ancaman nyata terhadap keamanan publik, misalnya menghalangi akses rumah sakit.
Kedua, Korea Selatan.
Candlelight Protest (2016–2017) menjadi contoh klasik. Selama berbulan-bulan, jutaan warga menuntut pengunduran diri Presiden Park Geun-hye. Jalan-jalan utama di Seoul ditutup khusus untuk aksi, aparat mengatur arus lalu lintas, menyediakan fasilitas publik, dan menjaga keamanan. Hasilnya, aksi terbesar dalam sejarah Korea Selatan justru dikenang sebagai demonstrasi damai tanpa kerusuhan berarti.
Ketiga, Amerika Serikat.
Protes Black Lives Matter (BLM) 2020 memberi pelajaran kontras. Di kota-kota yang aparatnya represif, bentrokan justru meningkat. Namun di tempat lain seperti Washington DC dan Minneapolis, di mana pemerintah lokal bekerja sama dengan penyelenggara demo menyediakan zona aman, toilet portable, bahkan ambulans protes berlangsung lebih tertib. Perbedaan ini menunjukkan: fasilitasi lebih efektif daripada represi.
Relevansi untuk Indonesia
Contoh di atas memperlihatkan bahwa standar HAM internasional sebagaimana ditegaskan ICCPR dan General Comment No. 37 bukan sekadar wacana. Negara-negara lain sudah mempraktikkannya dengan hasil positif.
Indonesia seharusnya belajar dari pengalaman tersebut:
Jangan menanggap demonstrasi musuh negara, ia adalah bagian dari demokrasi itu sendiri. Aparat harus menjadi fasilitator, bukan hanya menjaga ketertiban, tetapi memastikan hak demonstran terlindungi.
Dan yang paling penting pemerintah harus membuka kanal dialog, benar-benar mendengar dan memperjuangkan aspirasi rakyat.
Dengan tata kelola yang benar, unjuk rasa dapat kembali ke esensinya: ruang aspirasi rakyat yang bermartabat, bukan ajang anarki.
Penutup
Ricuhnya sebuah demonstrasi bukan berarti rakyat tidak layak bersuara. Justru sebaliknya, itu tanda bahwa demokrasi kita belum dikelola dengan baik.
Jika aspirasi rakyat lebih mudah disalurkan melalui mekanisme formal, demonstrasi di jalan tidak akan menjadi pilihan utama. Namun ketika saluran itu buntu, rakyat mencari cara lain dan kadang berujung pada kekacauan.
Demokrasi yang sehat menuntut keberanian pemerintah untuk membuka ruang dialog, kecerdasan masyarakat untuk menyampaikan kritik secara bermartabat, serta partai politik yang benar-benar menjadi representasi rakyat. Tanpa itu, demonstrasi akan terus berulang sebagai siklus konflik, bukan solusi.
Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman