Evakuasi Warga Gaza ke Galang: Misi Kemanusiaan atau Relokasi Terselubung?

Oleh:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)

JAMBI, Beritategas.com – Awal tahun 2025 Presiden Amerika Serikat Donald Trump, dalam sebuah pidato ia mengusulkan rencana kontroversial untuk “mengambil alih” Jalur Gaza dan merelokasi sekitar dua juta warga Palestina ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Usulan itu sontak menuai penolakan, termasuk dari Jakarta, yang dengan tegas menolak skema tersebut karena dinilai melanggar kedaulatan rakyat Palestina dan berpotensi menghapus hak mereka atas tanah airnya.

Bacaan Lainnya

Namun, beberapa bulan berselang, publik dikejutkan oleh pernyataan Presiden Indonesia yang menyatakan kesiapan menampung pengobatan warga Gaza di Pulau Galang, Kepulauan Riau.

Secara moral, langkah ini tentu patut diapresiasi: sebuah misi kemanusiaan untuk merawat korban perang, sejalan dengan tradisi diplomasi kemanusiaan Indonesia.

Akan tetapi, di balik niat baik itu, mengemuka pula kekhawatiran bahwa kebijakan ini dapat menjadi “pintu masuk” bagi skema relokasi jangka panjang atau bahkan permanen, yang selama ini dikhawatirkan menjadi agenda terselubung sebagian pihak.

Isu Sensitif di Tengah Misi Kemanusiaan
Sejarah mengajarkan bahwa krisis kemanusiaan kerap dimanfaatkan untuk tujuan politik.

Di balik operasi kemanusiaan ini, terdapat konteks geopolitik yang rumit: Amerika Serikat dan Israel secara terang-terangan memiliki kepentingan untuk menguasai atau bahkan menganeksasi Gaza dan Tepi Barat.

Bagi sebagian pengamat, tawaran relokasi sementara ke luar Palestina kerap dilihat sebagai bagian dari strategi “relokasi terselubung” yang perlahan menghapus klaim rakyat Palestina atas tanah mereka.

Karena itu, jika Pemerintah Indonesia tetap melaksanakan rencana evakuasi medis warga Gaza ke Pulau Galang, maka harus ada langkah-langkah yang tegas, transparan, dan sesuai hukum internasional untuk memastikan bahwa operasi ini murni misi kemanusiaan, bukan bagian dari skema politik yang berbahaya.

Legitimasi Hukum Internasional

Secara hukum internasional, landasan legitimasi misi kemanusiaan ini cukup kuat, setidaknya jika memenuhi empat kerangka hukum utama: 1) Piagam PBB Pasal 1 Ayat (3), Mengamanatkan kerja sama internasional dalam memajukan hak asasi manusia dan menyelesaikan masalah kemanusiaan internasional, 2) Konvensi Jenewa I (1949) dan Protokol Tambahan I (1977), Mengatur perlindungan korban perang, termasuk kewajiban negara untuk memberikan perawatan medis bagi korban konflik bersenjata, 3) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR), Pasal 6 dan Pasal 12, Menjamin hak untuk hidup serta kebebasan bergerak, termasuk untuk evakuasi medis atas persetujuan individu dan pemerintah yang sah, 4) Resolusi Majelis Umum 194 (1948) yang menjamin rights to return bagi pengungsi Palestina dan Resolusi Majelis Umum 3236 (1974) yang menegaskan Kembali hak rakyat Palestina atas tanah dan harta benda mereka.

Dengan demikian, selama pasien atau korban perang tersebut datang atas persetujuan resmi Pemerintah Palestina, diperlakukan sesuai standar kemanusiaan, dan dipulangkan setelah pulih, maka langkah ini tidak hanya sah menurut hukum internasional, tetapi juga mendapatkan legitimasi moral yang tinggi.

Namun, Siapa yang Menjaga Tanah, Rumah, dan Aset Mereka?

Kekhawatiran terbesar dari evakuasi ini adalah nasib properti yang ditinggalkan dan kemungkinan hilangnya hak atas properti di tanah air mereka sendiri.

Pengalaman Bosnia, Suriah, dan Irak menunjukkan bahwa ketika warga dievakuasi tanpa perlindungan aset, tanah dan rumah mereka sering disita atau diduduki pihak lain.

Di Palestina, risiko ini sangat nyata mengingat praktik pendudukan dan perluasan permukiman Israel yang sistematis.

Hukum internasional sebenarnya memberikan perlindungan hak properti warga sipil di wilayah konflik, antara lain melalui: 1) Pasal 46 Peraturan Den Haag 1907 yang melarang perampasan properti pribadi dalam perang, 2) Pasal 53 Konvensi Jenewa IV yang melarang penghancuran properti kecuali untuk keperluan militer mutlak, 3) Peran UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East / Badan PBB untuk Pengungsi Palestina) yang memiliki mandat memastikan hak properti pengungsi Palestina tetap diakui, dan 4) Dukungan OKI dan Pemerintah Palestina sebagai penjamin hak kepemilikan tanah dan rumah.

Karena itu, evakuasi medis harus dibarengi mekanisme pengamanan legal dan administratif terhadap aset mereka.

Mekanisme perlindungan hak properti harus dilakukan dengan: 1) Registrasi asset sebelum keberangkatan, UNRWA mencatat kepemilikan tanah dan rumah warga Gaza yang di evakuasi ke Galang, dan 2) Trustee Council for Gaza Properti, dibentuk bersama OKI dan Pemerintah Palestina untuk mejadi ‘penjaga resmi’ asset hingga pemiliknya Kembali.

Legitimasi Politik Internasional

Bila misi ini jadi dilaksanakan, secara politik, Indonesia tidak boleh bergerak sendiri. Untuk menghindari tuduhan relokasi terselubung, langkah ini perlu mendapatkan dukungan dan supervisi tiga aktor internasional utama:
1. PBB melalui UNRWA. Agar rencana ini berada di bawah mandat PBB, bukan kebijakan unilateral. UNRWA memiliki legitimasi historis dan operasional dalam menangani pengungsi Palestina.
2. OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Sebagai representasi dunia Islam, OKI dapat menjadi pengawas yang menjamin langkah ini tidak melanggar hak rakyat Palestina dan tidak memicu kecurigaan negara-negara anggota.
3. Gerakan Non-Blok dan Dewan HAM PBB
Indonesia dapat menggunakan forum ini untuk menjelaskan bahwa Pulau Galang sebagai model humanitarian corridor, bukan resettlement scheme.

Keterlibatan OKI dan UNRWA penting karena kedua organisasi ini memiliki legitimasi politik dan moral di mata komunitas internasional.

Tanpa keterlibatan mereka secara formal, narasi internasional bisa dikuasai pihak-pihak pro-relokasi yang akan membingkai langkah Indonesia sebagai bagian dari strategi mengosongkan Gaza.

Itu akan menjadi blunder diplomatik yang sulit diperbaiki. Jadi solusi aman adalah menjalankan mekanisme tripartit antara Pemerintah Indonesia, OKI, dan UNRWA.

Berikut Usulan skema Evakuasi Medis dan Perlindungan Hak Properti

1. Persetujuan & Mandat Internasional
* Pemerintah Palestina memberikan persetujuan resmi tertulis.
* Koordinasi penuh dengan UNRWA dan OKI.
* Disahkan melalui mandat PBB untuk mencegah tuduhan relokasi.
* Sebelum keberangkatan, dilakukan registrasi aset (rumah, tanah, dokumen kepemilikan). Data disimpan oleh UNRWA & Pemerintah Palestina untuk menghindari penyitaan, dan membuat mekanisme property claim dibentuk untuk pemulangan nanti.

2. Evakuasi Aman dari Gaza – Pulau Galang
* Proses evakuasi difasilitasi konvoi kemanusiaan PBB atau jalur laut/udara yang aman.
* Pengawalan oleh personel kemanusiaan dan medis internasional.

3. Tahap Perawatan di Pulau Galang
* Akses penuh tenaga medis internasional.
* Pengawasan OKI dan UNRWA.
* Perawatan medis intensif, rehabilitasi fisik dan psikologis dan kegiatan edukasi

4. Tahap Pemulangan
* Pemulangan segera setelah pasien pulih, difasilitasi UNRWA dan OKI.
* Korban kembali ke Palestina dalam situasi yang sudah damai, Kembali ke rumah dan tanah milik pribadi

Two-State Solution

Misi kemanusiaan ini harus berjalan seiring dengan upaya yang lebih besar: mewujudkan perdamaian permanen di Palestina. Konflik Israel–Palestina tidak akan pernah berakhir jika kekerasan terus berlangsung dan perpecahan internal di Palestina dibiarkan. Hamas dan Fatah harus bersatu dalam satu visi politik, sehingga memiliki posisi tawar yang kuat di meja perundingan internasional. Di saat yang sama, solusi dua negara (two-state solution) yang telah lama menjadi konsensus internasional harus segera diterapkan.

Hanya dengan kondisi damai dan pemerintahan Palestina yang solid, para korban yang dipulangkan kelak dapat hidup dengan aman, membangun kembali rumahnya, dan menikmati hak-hak mereka secara penuh.

Penutup

Rencana pengobatan warga Gaza di Pulau Galang adalah langkah mulia, tetapi harus dikawal dengan mekanisme hukum dan politik yang solid agar tidak disusupi agenda tersembunyi. Kunci suksesnya ada pada transparansi, multilateralisme dan jaminan asset dan hak Kembali.

Indonesia punya kesempatan besar menunjukkan bahwa diplomasi kemanusiaan bisa berjalan seiring dengan perlindungan hak asasi dan kedaulatan rakyat Palestina.

Dengan kata lain: Pulau Galang bisa menjadi simbol penyelamatan nyawa tanpa kehilangan tanah airnya.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses