Nikmat-nikmat itu tidak membuat beliau lupa diri. Dalam surah An-Naml ayat 40, disebutkan perkataan beliau yang sangat bersejarah,
“Ini termasuk karunia dari Rabbku, untuk menguji apakah aku bersyukur atau kufur, dan barang siapa ingkar, sesungguhnya Rabbku Maha Kaya dan Mahamulia.”( QS. An-Naml ayat 40 )
Contoh lainnya adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Dalam surah Al-Isra’ ayat 3 disebutkan bahwa beliau adalah ‘abdan syakura. Hamba yang banyak bersyukur.
Adapun alasan kenapa ia mendapat gelar istimewa tersebut adalah karena Nabi Nuh senantiasa memuji Allah Swt atas nikmat-nikmat yang melekat pada dirinya, seperti nikmat makanan dan nikmat pakaian.
Rasulullah juga tentunya merupakan pribadi yang pandai bersyukur. Bahkan ekspresi rasa syukur beliau bukan hanya dengan ucapan lisan.
Tapi dengan memperbanyak shalat. Inilah nikmat terbaik, yaitu hati yang pandai bersyukur. Adapun hakikat syukur itu sendiri adalah menggunakan kenikmatan, sesuai kehendak Pemberinya.
Tashrifun ni’mah ‘ala muraadi mu’tiiha.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah,
Nikmat Kedua adalah lisan yang banyak berzikir.
Nikmat terbaik selanjutnya adalah lisan yang banyak berdzikir. Sudah bisa dipastikan bahwa orang yang selalu mengingat Allah Swt, akan mendapat kedamaian dan ketenangan hati. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Ar-Ra’d ayat 28, “Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa seseorang pernah mendatangi Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sungguh, syariat Islam telah banyak untukku, maka berikanlah kepadaku sebuah pintu kebaikan yang meliputi semuanya, dan kami dapat berpegang teguh dengannya?”
Rasulullah menjawab, “Lisanmu senantiasa basah karena berdzikir mengingat Allah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Zikir yang dimaksud bukan sekedar hapalan kalimat-kalimat tertentu. Lebih dari itu, zikir yang benar harus disertai kehadiran hati. Inilah yang membedakan zikirnya orang beriman dan zikirnya orang munafik.
Seorang mukmin, banyak berzikir dan tenggelam dalam penghambaan di hadapan Allah. Sedangkan orang munafik, sedikit berzikir dan itupun dilakukan dengan berat hati, sekedar formalitas belaka. Allah Swt berfirman, “Mereka berbuat riya’ di hadapan manusia dan tidak mengingati Allah kecuali hanya sedikit saja.” (Al-Ahzab: 41-42).
Seperti itulah kondisi kaum munafik. Berbeda halnya dengan kondisi orang-orang beriman, ciri khas mereka melazimi zikir (mengingat Allah) di setiap waktu.
Sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an, “Mereka mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring sambil merenungi penciptaan langit dan bumi.
Mereka berkata, ‘Ya Rabb kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia’.” (QS. Ali Imran: 191)
Zikir adalah nafas yang mengisi setiap aktivitas. Ketika hendak makan atau minum. Menjelang tidur atau terbangun. Keluar masuk masjid. Keluar masuk rumah. Keluar masuk kamar mandi. Semua ada doa dan zikirnya.
Baik itu di rumah, di kantor, di pasar, dimanapun dan kapanpun. Bahkan dalam situasi perang sedang berkecamuk, cara terbaik untuk bertahan dan tetap teguh saat hati bergejolak, adalah dengan berzikir.
”Wahai orang-orang beriman, apabila kalian bertemu dengan sekelompok musuh, maka kuatkanlah pendirian kalian dan berdzikirlah mengingati Allah dengan dzikir yang banyak, agar kalian mendapat kemenangan.” (QS. Al-Anfal: 45)
Betapa nikmat terbesar yang Allah Swt anugerahkan kepada seorang hamba adalah lisan yang senantiasa berzikir dalam setiap waktu dan keadaan. Lisan yang tidak pernah bosan untuk melantunkan untaian kalimat dzikir.