Dosen Hukum Internasional UNJA Desak Reformasi Hak Veto DK PBB

Oleh:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M – Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)

JAMBI, Beritategas.com – Amerika Serikat kembali menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk menggagalkan resolusi tentang gencatan senjata di Gaza Palestina. Padahal, empat Anggota Tetap lain: Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris, setuju, dan 10 Anggota Tidak Tetap juga setuju. Mayoritas negara di dunia juga mendukung, saat isu yang sama dibahas dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80, September 2025.

Bacaan Lainnya

Peristiwa ini mengulang pola yang sama: suara kolektif dunia kerap kali dibungkam oleh satu negara besar melalui hak veto. Pertanyaannya: apakah hak veto ini masih relevan, atau justru menjadi penghalang perdamaian global?

Sejarah dan Organ PBB
Sebelum membahas DK PBB, kita mengenal terlebih dahulu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Lahir pada 24 Oktober 1945 sebagai respons atas kehancuran Perang Dunia II, dengan tujuan utama menjaga perdamaian dan keamanan internasional, serta memajukan kerja sama antarbangsa.

Landasan hukum organisasi internasional ini adalah UN-Charter (Piagam PBB) yang ditandatangani di San Francisco pada 26 Juni 1945.

Dalam Piagam PBB diatur enam organ utama, yaitu: (1) Majelis Umum (General Assembly), (2) Dewan Keamanan (Security Council), (3) Dewan Ekonomi dan Sosial (Economic and Social Council), (4) Dewan Perwalian (Trusteeship Council), (5) Mahkamah Internasional (International Court of Justice), dan (6) Sekretariat (Secretariat).

Diantara organ-organ tersebut, Dewan Keamanan memiliki peran paling menentukan dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Kewenangan Dewan Keamanan diatur dalam Bab V Piagam PBB, khususnya Pasal 23 sampai 32, termasuk mengenai keanggotaan tetap dan mekanisme pengambilan keputusan.

Apa Itu Hak Veto dan Bagaimana Cara Kerjanya?
Hak veto adalah hak istimewa yang dimiliki oleh lima anggota tetap (P5) Dewan Keamanan (AS, Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris) untuk membatalkan keputusan meskipun mendapat dukungan mayoritas anggota lain. Secara teknis, jika salah satu dari kelima negara tersebut memilih “tidak setuju” (veto), maka rancangan resolusi otomatis gagal disahkan, terlepas dari besarnya dukungan suara.

Mekanisme ini lahir dari kompromi sejarah pasca-Perang Dunia II, ketika PBB dibentuk. Para pemenang perang saat itu dianggap perlu diberi peran istimewa agar bersedia bergabung dan menjaga stabilitas dunia. Namun, konsekuensinya adalah terbentuknya sistem yang timpang: suara mayoritas negara bisa tidak berarti apa-apa bila bertabrakan dengan kepentingan politik satu negara besar.

Inilah yang membuat hak veto kerap dikritik sebagai instrumen politik unilateral yang bertentangan dengan prinsip demokrasi internasional.
Veto: Instrumen Stabilitas atau Alat Politik?

Secara ideal, hak veto dimaksudkan untuk mencegah keputusan PBB dimanfaatkan untuk melawan kepentingan vital salah satu negara besar, sehingga memicu konflik berskala lebih luas. Tetapi dalam praktik, veto seringkali dipakai sebagai instrumen politik demi melindungi sekutu atau kepentingan domestik.

Kasus Palestina adalah contoh nyata: dukungan global yang begitu besar tidak berarti apa-apa karena satu negara memutuskan sebaliknya. Akibatnya, PBB terlihat tidak berdaya, dan legitimasi moralnya dipertanyakan.
Reformasi Hak Veto Perspektif Normatif John Locke

Dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80, sejumlah negara, termasuk Finlandia, Malaysia dan Singapura, dengan tegas memprotes keberadaan hak veto yang berulang kali menjadi penghalang serius tercapainya perdamaian dunia. Mereka mendorong reformasi PBB agar lebih adil, efektif, dan relevan dengan tantangan global saat ini.

Jika Dewan Keamanan terus dibiarkan diblokir oleh penggunaan hak veto, PBB berisiko kehilangan legitimasi moral dan politiknya. PBB harus bertransformasi menjadi lembaga yang lebih representatif dan inklusif dengan memberi ruang setara (equal) bagi semua negara anggota. Dunia internasional tidak boleh membiarkan suara kolektif mayoritas diabaikan hanya karena kepentingan sepihak satu negara besar.

Dalam perspektif teori politik, John Locke dalam Two Treatises of Government menegaskan bahwa manusia lahir bebas dan setara, sehingga tidak seorang pun memiliki kekuasaan absolut atas orang lain. Prinsip ini dapat diperluas dalam tataran internasional: bangsa-bangsa di dunia juga lahir setara dan berdaulat.

Locke menekankan bahwa kekuasaan politik hanya sah bila bersandar pada persetujuan mayoritas, itulah dasar demokrasi konstitusional.

Jika gagasan Locke diterapkan pada hubungan antarbangsa, maka negara-negara di dunia juga setara secara hakiki. Tidak ada satu bangsa pun yang secara moral berhak mendominasi atau menolak aspirasi kolektif bangsa-bangsa lain.

Namun, hak veto Dewan Keamanan PBB justru menciptakan bentuk “kekuasaan absolut” yang menurut Locke tidak sah secara moral, karena mengabaikan prinsip persetujuan mayoritas.

Dengan demikian, meskipun secara hukum internasional amandemen Piagam PBB sulit dilakukan karena syarat persetujuan P5, secara normatif hak veto sudah kehilangan legitimasi.

Veto adalah warisan geopolitik pasca-Perang Dunia II yang lebih mencerminkan distribusi kekuasaan tahun 1945, bukan realitas demokrasi global hari ini.

Maka, reformasi hak veto harus dipandang sebagai tuntutan moral, filosofis, dan demokratis, bukan sekadar isu teknis.

Pembatasan, transparansi, atau bahkan penghapusan veto adalah langkah yang sesuai dengan legitimasi demokrasi modern, di mana suara kolektif mayoritas negara (representasi rakyat dunia) tidak boleh dibungkam oleh satu negara besar.

Apakah Hak Veto dalam Piagam PBB bisa diubah?
Secara hukum, Piagam PBB memang bisa diamandemen, termasuk soal hak veto. Namun, prosedurnya sangat berat, terutama terkait reformasi hak veto.

Dalam Pasal 108, Amandemen Piagam memerlukan persetujuan dua pertiga anggota Majelis Umum, termasuk semua anggota tetap Dewan Keamanan (P5), yang justru memiliki kepentingan mempertahankan hak istimewanya. Situasi ini menciptakan “lingkaran besi”: sistem yang sudah timpang dijaga oleh mekanisme yang hampir mustahil diubah, praktisnya hak veto P5 tidak bisa dihapus tanpa persetujuan mereka sendiri.

Memang ada beberapa langkah kecil, seperti kewajiban menggelar sidang khusus setiap kali veto digunakan, untuk memberi tekanan moral dan transparansi. Namun, hal ini tidak mengurangi efek absolut veto itu sendiri.

Alternatif Reformasi yang Memungkinkan
Reformasi total mungkin sulit, tetapi ada alternatif yang bisa diperjuangkan: 1) Pembatasan penggunaan hak veto: Misalnya, veto tidak boleh digunakan dalam kasus pelanggaran berat HAM, kejahatan perang, atau genosida (didorong oleh Prancis dan Meksiko sejak 2013).
2) Kewajiban menjelaskan veto: Negara P5 wajib memberikan justifikasi tertulis dan dibahas dalam forum Majelis Umum agar publik menilai rasionalitas dan akuntabilitasnya.
3) Uniting for Peace (Resolusi Majelis Umum 377 A (V), 1950): Jika Dewan Keamanan terblokir oleh veto, Majelis Umum dapat mengambil alih peran untuk merekomendasikan tindakan kolektif.

Secara realitas hukum, amandemen formal hampir mustahil karena P5 tidak akan menyetujui penghapusan hak veto. Namun, secara politik dan praksis, penggunaan hak veto bisa dibatasi dan dipermalukan secara internasional melalui mekanisme Majelis Umum dan tekanan diplomasi multilateral.

Penutup
Hak veto Dewan Keamanan PBB pada dasarnya adalah warisan Perang Dunia II, sebuah hak istimewa yang dirancang untuk menjaga stabilitas global. Namun, dalam realitas hari ini, veto sering kali justru menjadi hambatan perdamaian, terutama ketika digunakan untuk menutup jalan keluar atas penderitaan rakyat yang terjepit konflik.

Selama hak veto tetap dibiarkan absolut, suara mayoritas dunia akan terus bisa dibungkam oleh kepentingan segelintir negara. PBB pun berisiko semakin kehilangan legitimasi sebagai lembaga penjaga perdamaian. Dunia internasional perlu terus mendorong reformasi sekecil apapun, agar hak veto tidak lagi menjadi simbol ketidakadilan, melainkan alat tanggung jawab kolektif demi perdamaian sejati.

Catatan Kaki
1. United Nations, Charter of the United Nations and Statute of the International Court of Justice, United Nations, New York, 1945, Pasal 27 ayat (3).
2. Bardo Fassbender, UN Security Council Reform and the Right of Veto: A Constitutional Perspective, Kluwer Law International, The Hague, 1998.
3. Ian Hurd, International Organizations: Politics, Law, Practice, Cambridge University Press, Cambridge, 2014.
4. “Mengenal Veto PBB: Hak Istimewa atau Hambatan Perdamaian?”, MetroTV News, 2025.
5. John Locke, Two Treatises of Government, Cambridge University Press, Cambridge, 1988.
6. Lihat pernyataan delegasi Malaysia dalam Sidang Majelis Umum PBB ke-80, UN Press Release GA/12456, New York, 2025.
7. Lihat juga pernyataan delegasi Singapura, UN Press Release GA/12457, New York, 2025.
8. Lihat United Nations, General Assembly Official Records, Eightieth Session, New York, 2025.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses