Demo Itu Hak Konstitusi, Tapi Jangan Anarki

Oleh:
Mochammad Farisi, LL.M – Dosen Hukum Internasional, FH-UNJA & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)

JAMBI, Beritategas.com – Jalanan dipenuhi demonstrasi yang ditujukan kepada pemerintah dan DPR. Rakyat marah karena kebijakan yang sewenang-wenang: pajak dinaikkan, subsidi dikurangi, sementara gaji dan tunjangan pejabat justru membengkak; belum lagi korupsi yang merajalela dan anggaran negara yang kerap tidak efisien.

Bacaan Lainnya

Saya pun bisa memahami kemarahan itu, bahkan ikut mendidih melihat penguasa yang semestinya menjaga hukum justru melanggarnya. Sayangnya, banyak aksi justru berakhir dengan kericuhan: batu beterbangan, gas air mata memenuhi udara, fasilitas publik rusak dan dibakar, bahkan sampai ada korban jiwa.

Harus diingat: demonstrasi yang berujung ricuh dan anarkis tetap salah. Merusak fasilitas publik hanya menambah beban keuangan negara, yang ironisnya bisa membuka ruang korupsi baru.

Demonstrasi sejatinya adalah hak asasi, bukan aksi anarki. Ia merupakan jalan rakyat untuk menyampaikan pendapat, menegur penguasa, dan mengawal keadilan. Karena bernilai luhur, demonstrasi harus dijalankan dengan cara yang beradab dan bermartabat.

Apalagi bila yang turun ke jalan adalah mahasiswa mereka seharusnya tampil lebih intelek, elegan, dan mampu menyuarakan kritik dengan kepala dingin, bukan dengan emosi apalagi tindakan anarkis.

Demonstrasi Adalah Hak Asasi, Bukan Alat Anarki

Demonstrasi bukan sekadar teriak-teriak di jalan. Ia adalah ekspresi luhur kebebasan berpendapat. Hukum internasional dan hukum nasional dengan tegas mengakuinya.

Universal Declaration of Human Rights (UDHR) Pasal 20 ayat (1) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 21, pada intinya berbunyi: “…Everyone has the rights to freedom of opinion, expression, import information and ideas through any media…” UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 23 ayat (2): “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.”,

sedangkan UU No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 1 angka 1: “Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Jelas, negara memberi karpet merah bagi rakyat untuk mengkritik. Tetapi karpet merah itu hanya berlaku bila demo dilakukan secara damai, bukan dengan kekerasan. Artinya, demonstrasi itu sah, legal, bahkan dilindungi hukum. Tetapi, ada catatan penting: kebebasan berpendapat bukanlah kebebasan tanpa batas.

Kebebasan berpendapat tidak boleh merampas hak orang lain, merusak ketertiban umum, atau menebar kebencian. Demo boleh, tapi tidak boleh merusak lampu merah, membakar mobil, atau melempar polisi dengan batu. Itu bukan aspirasi, itu aksi kriminal.

Metode Kritik: Tidak Harus Turun ke Jalan

Mengkritik pemerintah bukan hanya bisa lewat unjuk rasa. Ada banyak metode lain yang sah dan bermartabat: menulis opini di media kompas/tempo/blog, dll. Atau membuat surat terbuka, mengekspresikan lewat seni, misalnya: film Sexy Killers 2019 & Dirty Vote, melalui musik seperti Iwan Fals, Slank & Sukatani, membuat karikatur/graffiti/lukisan seperti lukisan karya Suprapto berjudul Konoha, Lukisan Tikus Garuda karya Rokhayat, menggelar mimbar bebas seperti Wiji Thukul / stand up comedy Padji/Abdur/Mamat Alkatiri, melakukan audiensi tatap muka atau forum diskusi, berdialog di televisi, hingga memanfaatkan media sosial lewat podcast, postingan, atau meme. Turun ke jalan memang sah, tetapi mestinya jadi pilihan terakhir ketika ruang-ruang aspirasi lain tertutup.

Bagaimana Etika Mengkritik?

Pertama, niatkan untuk kepentingan bangsa, bukan sekadar gengsi, kepentingan pribadi atau golongan. Kritik sejati muncul dari kepedulian, bukan dari pesanan sponsor.

Kedua, kritik harus konstruktif, berbasis kajian, fakta, dan data yang akurat.

Ketiga, sampaikan dengan cara bermartabat: tidak menyerang pribadi, tidak menghina, tidak merusak fasilitas publik.

Keempat, kritik mestinya menghasilkan dampak positif mendorong perbaikan sistem, memperbaiki tata kelola, dan pada akhirnya mensejahterakan rakyat.

Bagaimana Seharusnya Pemerintah dan DPR Menyikapi?

Pemerintah dan DPR jangan alergi kritik. Jangan pakai buzzer untuk membungkam lawan suara. Jangan gunakan hukum sebagai pentungan yang menakut-nakuti rakyat.

Sebaliknya, bukalah ruang dialog. Jalankan open government: transparan, akuntabel, dan bersih. Biarkan rakyat tahu ke mana anggaran tunjangan DPR lari. Dan yang terpenting: cepat respon! Temui pendemo, beri jawaban yang jelas, dan selesaikan masalah di akarnya.

Kritik = Vitamin Demokrasi

Kritik yang sehat adalah vitamin demokrasi. Ia membuat pemerintah bergerak lebih efisien, lebih kreatif, lebih inovatif. Kritik juga adalah cermin peradaban: bangsa yang berani mengkritik secara santun adalah bangsa yang matang dan beradab.

Kebebasan berpendapat adalah hak yang diakui, dijamin, dan dilindungi hukum. Namun, kebebasan itu harus dijalankan dengan niat baik, menghormati orang lain, menjauhi cara-cara anarkis, dan bermartabat.

Jadi, silakan pilih gaya mengkritik anda: lewat tulisan, seni, dialog, media sosial, atau demo di jalan. Tapi ingat, Jangan anarkis!.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses