Oleh: Dr. Erwin, S.H., M.H.
Dosen Pada Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jambi.
JAMBI, Beritategas.com – Cyber sexual harassment adalah segala jenis pelecehan, eksploitasi atau penyiksaan seksual yang terjadi melalui teknologi digital dan internet, seperti media sosial, pesan instan dan platform komunikasi lainnya.
Tindakan ini dapat berupa mengirimkan konten atau pesan yang tidak diinginkan dan bersifat seksual, meminta foto atau video yang mengandung muatan seksual, melakukan tindakan seksual melalui webcam tanpa persetujuan atau menyebarkan konten pribadi tanpa izin.
Dari perspektif hukum pidana di Indonesia, cyber sexual harassment adalah segala perbuatan seksual non fisik yang dilakukan melalui teknologi digital, perbuatan ini dapat dijerat melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Secara umum, cyber sexual harassment memiliki unsur-unsur berikut:
Perilaku Seksual Nonfisik: Melibatkan ucapan, pesan, gambar, video atau konten lain yang bersifat seksual.
Penggunaan Teknologi Digital: Dilakukan melalui media elektronik, seperti internet, media sosial, aplikasi pesan atau platform digital lainnya.
Niat Merendahkan Martabat: Tujuan pelaku adalah untuk merendahkan harkat dan martabat korban berdasarkan seksualitas atau kesusilaannya.
Tanpa Persetujuan Korban: Tindakan tersebut dilakukan tanpa kehendak atau persetujuan dari korban.
Bentuk-bentuk cyber sexual harassment meliputi:
Konten Visual yang Tidak Diinginkan: Mengirimkan pesan, gambar, video atau tautan yang bersifat seksual tanpa persetujuan korban.
Permintaan Seksual: Meminta secara tidak pantas kepada orang lain untuk mengirimkan foto atau video yang mengandung muatan seksual atau menyebarkan konten yang merendahkan martabat seksual seseorang.
Pelecehan Verbal: Mengirimkan komentar atau pesan yang bersifat seksual, merendahkan atau menghina berdasarkan jenis kelamin, identitas gender atau orientasi seksual. Membuat komentar atau lelucon yang menyinggung secara seksual di media sosial.
Penyebaran Konten Pribadi Tanpa Izin: Berbagi gambar atau video pribadi tanpa persetujuan semua pihak yang terlibat, sering disebut sebagai “balas dendam porno”. Menyebarkan informasi pribadi korban dengan niat melecehkan secara seksual.
Zoombombing: Membagikan pornografi atau konten yang tidak pantas dalam rapat atau kelas daring yang seharusnya bersifat profesional atau pendidikan. Zoombombing adalah istilah untuk gangguan tidak diinginkan yang terjadi ketika orang asing yang tidak diundang bergabung dengan rapat video (terutama di platform Zoom) dan mengganggu peserta dengan membagikan konten yang tidak pantas, suara keras atau pesan-pesan mengganggu.
Melakukan cyber stalking, yaitu menguntit atau melacak korban melalui sistem elektronik untuk tujuan seksual.
Melakukan ancaman atau pemerasan seksual melalui pesan atau media sosial.
Dampak dan Konsekuensi:
Dampak Psikologis: Korban dapat merasa tertekan, marah, takut dan bahkan mengalami trauma.
Berulang dan Bertujuan: Perilaku ini bersifat berulang, dengan tujuan untuk mengancam, mempermalukan, menakut-nakuti dan membungkam korban.
Memanfaatkan Teknologi: Pelaku memanfaatkan teknologi digital untuk menjangkau korban secara luas.
Dampak Sosial: Dapat merusak reputasi korban dalam kehidupan sosial masyarakat
Konsekuensi Hukum: Tindakan cyber sexual harassment dapat dianggap sebagai kejahatan seksual dan dapat dituntut secara hukum, seperti yang diatur dalam undang-undang di Indonesia terkait kekerasan seksual.
Peraturan Perundang-undangan yang Relevan:
UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS):
Undang-undang ini memperluas definisi kekerasan seksual dan mencakup tindakan yang terjadi di ranah digital, termasuk cyber sexual harassment.
UU ini mengklasifikasikan beberapa bentuk cyber sexual harassment sebagai tindak pidana kekerasan seksual dan mengatur hak-hak korban untuk mendapatkan penanganan, perlindungan dan pemulihan.
Pasal 14 Mengatur tentang pelecehan seksual non-fisik, termasuk pelecehan seksual berbasis siber yang dapat berupa penyebaran informasi, publikasi atau konten yang bersifat seksual atau melecehkan dan merendahkan harkat martabat seseorang secara elektronik.
Pasal 14
(1) Setiap Orang yang tanpa hak:
a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetujuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar;
b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau
c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan maksud:
a. untuk melakukan pemerasan atau pengancaman, memaksa; atau
b. menyesatkan dan/atau memperdaya, seseorang supaya melakukan, membiarkan dilakukan, atau tidak melakukan sesuatu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(3) Kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan delik aduan, kecuali Korban adalah Anak atau Penyandang Disabilitas.
(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan demi kepentingan umum atau untuk pembelaan atas dirinya sendiri dari Tindak Pidana Kekerasan Seksual, tidak dapat dipidana.
(5) Dalam hal Korban kekerasan seksual berbasis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan Anak atau Penyandang Disabilitas, adanya kehendak atau persetujuan Korban tidak menghapuskan tuntutan pidana.
Undang-undang ini merupakan dasar hukum yang paling spesifik untuk menangani kekerasan seksual, termasuk yang terjadi secara daring, serta memberikan perlindungan dan pemulihan hak korban.
UU Nomor 1 Tahun 2024 Perubahan Kedua UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE:
Undang-undang ini menjadi dasar hukum yang penting untuk menangani kejahatan siber, termasuk cyber sexual harassment, dan memberikan dasar untuk tindakan pidana terkait penyebaran konten seksual ilegal melalui media elektronik.
Pasal 27 ayat (1): Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dapat dipidana.
Pasal 29: Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti dapat dipidana.
Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU ITE Mengatur sanksi pidana bagi setiap orang yang menyebarkan muatan kesusilaan atau yang melanggar kesusilaan yang terjadi di media elektronik, termasuk konten yang berkaitan dengan cyber sexual harassment.
Pasal 27 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.
Pasal 29 Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut nakuti.
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipidana dalam hal:
a. dilakukan demi kepentingan umum;
b. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau
c. Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/ atau ilmu pengetahuan.
Tindak pidana pelecehan seksual siber di Indonesia pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang memberikan payung hukum komprehensif untuk kekerasan seksual termasuk yang terjadi secara daring, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur perbuatan menyebarkan konten asusila secara daring.
Selain itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi juga dapat digunakan sebagai dasar jerat pidana, terutama jika pelecehan seksual melibatkan penyebaran konten pornografi atau perbuatan cabul.
Penting untuk diperhatikan:
UU Pornografi lebih fokus pada pengaturan konten pornografi, seperti memproduksi, menyebarluaskan atau memiliki konten pornografi.
UU ITE lebih luas mengatur tindakan menyebarkan konten bermuatan asusila melalui media elektronik, termasuk pelecehan seksual berbasis digital.
UU TPKS adalah undang-undang yang lebih spesifik dan komprehensif untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual, termasuk yang terjadi di ruang digital.
Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman