MEDAN, Beritategas.com — Di tengah gempita pembangunan infrastruktur fisik yang kian masif, Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd, justru mengarahkan sorotan ke tempat yang lebih sunyi namun fundamental: sekolah. Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed) itu meyakini bahwa kebangkitan Indonesia tidak akan lahir dari beton dan baja, melainkan dari ruang-ruang kelas tempat akal budi diasah.
Pernyataan ini ia tegaskan dalam momen simbolik saat menerima buku terbarunya Membangun Negeri dari Sekolah, yang disusun bersama dua dosen muda Unimed, Dr. Dionisius Sihombing dan Dr. Salman Munthe, serta diterbitkan oleh Dotplus. Acara penyerahan buku berlangsung sederhana namun sarat makna di ruang kerjanya, disaksikan oleh sejumlah pejabat kampus.
“Bangsa ini terlalu sering memulai pembangunan dari luar—dari jalan, dari bandara, dari gedung megah. Padahal konsep paling tua di bumi adalah membangun cara berpikir. Sekolah adalah tempat menanam cara berpikir itu,” kata Prof. Syawal yang juga Ketua Senat Unimed dan mantan Rektor universitas tersebut, Senin (30/6/2025).
Lewat buku ini, ia tidak hanya menyampaikan kegelisahan intelektual atas arah pendidikan Indonesia, tapi juga menggugah kesadaran bahwa sekolah bukan sekadar tempat transfer ilmu, melainkan episentrum peradaban.
“Kita punya 62 juta generasi masa depan yang saat ini berada di sekolah dan perguruan tinggi. Kalau kita abai membenahi sistemnya, jangan berharap bisa membangun bangsa yang kokoh,” ujarnya.
Lebih jauh, Prof. Syawal menekankan bahwa pendidikan harus dikelola dengan integritas dan kejelasan arah. Ia menyoroti perlunya pemimpin pendidikan yang visioner dan berani menggeser paradigma pembangunan dari fisik ke fondasi nilai.
Sekolah, menurutnya, adalah pusat dari segala: pusat integritas, pusat disiplin, dan pusat pemecahan masalah bangsa. Ia menegaskan bahwa hanya dengan menata ulang sekolah sebagai pusat pembentukan karakter, Indonesia bisa melangkah sebagai negara besar.
Buku *Membangun Negeri dari Sekolah* sendiri merangkum gagasan kritis, pengalaman empiris, dan peta jalan transformasi pendidikan nasional. Di dalamnya, sekolah diposisikan bukan hanya sebagai institusi formal, melainkan sebagai jantung pembangunan sosial-ekonomi yang sesungguhnya.
Tak hanya itu, Prof. Syawal menutup diskusi dengan satu pernyataan reflektif: “Kalau sekolah hanya jadi tempat numpang belajar, bukan tempat menanam kejujuran dan karakter, kita sedang membangun istana di atas pasir.”
Peluncuran dan bedah buku ini dijadwalkan dalam waktu dekat, sebagai bentuk perluasan gagasan dan seruan moral kepada para pengambil kebijakan, pendidik, dan masyarakat luas. Sebab di tangan merekalah, masa depan sekolah—dan bangsa—dipertaruhkan.
Kontributor : Dedi
Editor : Firman