10 Nyawa Melayang: Benarkah Ada Pelanggaran HAM dalam Demonstrasi Indonesia?

Oleh:
Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M
Dosen Hukum Internasional Universitas Jambi & Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (Pusakademia)

JAMBI, Beritategas.com – Dilaporkan sepuluh orang meninggal dunia dalam gelombang demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus 2025 silam. Demonstrasi di sejumlah wilayah berujung ricuh disertai pengrusakan gedung institusi dan pemerintahan, sebut Assist. Prof. Mochammad Farisi, LL.M dalam tulisannya, Rabu (04/09/2025).

Bacaan Lainnya

Demonstrasi yang Berujung Ricuh.

Akhir Agustus lalu, Indonesia kembali diguncang gelombang demonstrasi besar di berbagai kota. Aksi ini awalnya merupakan ekspresi politik masyarakat yang menuntut pembatalan sejumlah kebijakan pemerintah dan DPR yang dianggap tidak berpihak pada rakyat. Akan tetapi demonstrasi mengarah kepada tindakan anarkistis.

Namun suasana berubah mencekam ketika sebuah insiden tragis terjadi: seorang pengemudi ojek online Affan Kurniawan meninggal dunia akibat tertabrak kendaraan taktis polisi. Kejadian itu memicu kemarahan publik, sehingga demonstrasi meluas dan diwarnai pembakaran, penjarahan, serta bentrokan terbuka. Berdasarkan laporan media, korban jiwa mencapai sepuluh orang.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah hak asasi manusia benar-benar dijamin saat rakyat turun ke jalan untuk menyuarakan pendapat? Dan apakah negara menjalankan kewajiban konstitusional dan internasionalnya dalam melindungi hak-hak sipil politik rakyat?

OHCHR Menyuarakan Keprihatinan

Kantor Komisioner Tinggi PBB untuk HAM (Office of the High Commissioner for Human Rights/ OHCHR) menyampaikan keprihatinan mendalam atas eskalasi kekerasan tersebut. Menurut saya seruan OHCHR setidaknya menegaskan tiga hal penting:

1. Penggunaan Kekuatan oleh Aparat. Aparat keamanan wajib mematuhi hukum, termasuk prinsip penggunaan kekuatan dan senjata api sebagaimana diatur dalam Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials (1990). Prinsip ini menegaskan bahwa kekuatan hanya boleh digunakan bila benar-benar diperlukan, harus proporsional, dan menjadi upaya terakhir (last resort).

2. Kebebasan Pers. Media harus diberi ruang untuk meliput tanpa intimidasi atau serangan. Membatasi atau menekan pers dalam situasi krisis hanya akan memperburuk ketidakpercayaan publik.

3. Hak atas Kebebasan Berkumpul dan Berekspresi. Negara, melalui aparatnya, berkewajiban menjunjung tinggi hak atas kebebasan berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Instrumen ini sudah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005, sehingga mengikat secara hukum.

Dengan kata lain, OHCHR tidak sekadar mengingatkan, tetapi menegaskan adanya standar internasional yang harus dipatuhi Indonesia.

Benarkah Terjadi Pelanggaran HAM?

Pertanyaan krusialnya: apakah peristiwa demonstrasi ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM?

Untuk menjawabnya, kita perlu kembali pada kerangka hukum HAM internasional. Hukum ini terdiri dari instrumen global (seperti ICCPR, ICESCR, dan konvensi lainnya) yang memberikan standar universal perlindungan martabat manusia.

Dalam konteks demonstrasi, ada beberapa hak fundamental yang relevan:
* Hak atas hidup (right to life) → tidak boleh dirampas secara sewenang-wenang. Jika korban meninggal karena penggunaan kekuatan berlebihan, hal itu bisa dikualifikasi sebagai pelanggaran HAM.
* Hak atas kebebasan berkumpul secara damai (right to peaceful assembly) → dijamin Pasal 21 ICCPR. Negara wajib memfasilitasi, bukan malah menghalangi.
* Hak atas kebebasan berekspresi (freedom of expression) → dijamin Pasal 19 ICCPR. Meliputi kebebasan pers dan hak warga menyampaikan kritik.

Bila dalam kenyataannya ada tindakan aparat yang berlebihan, penggunaan kekuatan tidak proporsional, pembungkaman media, atau kriminalisasi terhadap demonstran damai, maka hal itu jelas memenuhi unsur pelanggaran HAM.

Namun kita juga harus objektif: demonstrasi yang berubah menjadi anarki, pembakaran, dan penjarahan bukan bagian dari “aksi damai”. Tindakan kriminal dalam unjuk rasa tetap bisa ditindak hukum, sepanjang proses penegakan hukum dilakukan dengan menghormati prinsip due process dan non-discrimination.

Apakah Termasuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan?

Selain pelanggaran HAM, perlu juga ditelaah apakah peristiwa demonstrasi akhir Agustus kemarin dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dalam kerangka Statuta Roma 1998.
Pasal 7 Statuta Roma mendefinisikan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai:
“Serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap penduduk sipil, dengan pengetahuan adanya serangan tersebut.”

Artinya, ada dua elemen pokok:
1. Serangan meluas atau sistematis (widespread or systematic) terhadap penduduk sipil.
2. Kesadaran pelaku bahwa tindakannya merupakan bagian dari serangan tersebut.

Statuta Roma merinci bentuk-bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, kekerasan seksual, penganiayaan terhadap kelompok tertentu, penghilangan paksa, apartheid, dan perbuatan tidak manusiawi lainnya.

Jika dicermati, meskipun terdapat korban jiwa dan penggunaan kekuatan aparat yang patut dipersoalkan, peristiwa ini lebih tepat dikategorikan sebagai dugaan pelanggaran HAM.

Skala dan pola kekerasannya belum menunjukkan sifat “meluas” atau “sistematis” sebagaimana dimaksud Statuta Roma. Kerusuhan ini lebih bersifat insidental dalam konteks unjuk rasa, bukan kebijakan negara yang terencana untuk menyerang penduduk sipil.

Dengan demikian, menyebut peristiwa ini sebagai dugaan pelanggaran HAM masih relevan, tetapi belum cukup bukti untuk menyebutnya sebagai crime against humanity.

Bagaimana Seharusnya Respon Pemerintah?

Seruan OHCHR agar dilakukan penyelidikan cepat, menyeluruh, dan transparan terhadap dugaan pelanggaran HAM harus dipahami sebagai kewajiban hukum internasional. Ada lima langkah yang seharusnya diambil pemerintah:
Penyelidikan Independen dan Transparan. Melibatkan lembaga pengawas eksternal seperti Komnas HAM, LPSK, dan masyarakat sipil. Informasi perkembangan harus dibuka ke publik.
Akuntabilitas Aparat. Jika terbukti ada penggunaan kekuatan berlebihan, sanksi tegas harus diberikan, baik pidana maupun administratif. Prinsip command responsibility juga berlaku.
Pemulihan Korban. Pemerintah wajib memberi kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban dan keluarga korban.
Reformasi SOP Aparat. Evaluasi ulang aturan penggunaan kekuatan dan senjata api. Aparat perlu pelatihan de-escalation dan manajemen kerumunan sesuai standar internasional.
Meneguhkan Komitmen Internasional. Indonesia harus menunjukkan kepatuhan pada standar HAM sebagai bukti keseriusan menjaga demokrasi.

Dengan langkah ini, pemerintah tidak hanya menjawab sorotan internasional, tetapi juga mengembalikan kepercayaan publik.

Menjawab Tuntutan Rakyat: Jangan Biarkan Rakyat Gugur Sia-Sia

Demonstrasi besar yang terjadi hingga merenggut 10 nyawa adalah alarm keras bagi pemerintah dan DPR. Kehilangan nyawa rakyat tidak boleh dianggap sekadar “biaya sosial” dari sebuah kebijakan.

Korban yang jatuh adalah pengingat bahwa ada yang salah dalam komunikasi, pengambilan keputusan, dan kepekaan negara terhadap suara rakyat.

Agar tragedi ini tidak sia-sia, pemerintah dan DPR harus serius mendengar tuntutan masyarakat:
– Batalkan kebijakan yang tidak pro-rakyat dan tidak menunjukkan empati terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
– Segera sahkan UU Perampasan Aset sebagai instrumen penting pemberantasan korupsi. UU ini akan memperkuat legitimasi negara dalam mengembalikan aset hasil korupsi kepada rakyat.
Buka ruang dialog substantif dengan masyarakat sipil. Dengarkan kritik sebagai masukan konstruktif, bukan ancaman.
Dengan langkah-langkah tersebut, negara tidak hanya meredam gejolak sesaat, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik yang merupakan fondasi demokrasi.

Penutup: Momentum Perbaikan

Demonstrasi dan tragedi yang menyertainya harus dipandang sebagai cermin retak demokrasi. Negara wajib membuktikan diri sebagai pelindung hak, bukan justru aktor pelanggaran.

Respon yang cepat, transparan, dan akuntabel akan membuktikan bahwa Indonesia tidak hanya serius menjaga stabilitas politik, tetapi juga konsisten menghormati hak asasi manusia sebagaimana dijanjikan dalam konstitusi dan hukum internasional.

Jangan biarkan korban gugur sia-sia. Pemerintah harus menjadikan tragedi demonstrasi ini sebagai momentum perbaikan besar-besaran—dalam penegakan HAM, reformasi aparat keamanan, dan kebijakan publik yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Bahan bacaan
1. United Nations, Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials, Havana, 1990.
2. United Nations Human Rights Committee, General Comment No. 34 on Article 19: Freedoms of Opinion and Expression, 2011.
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights.
4. ICCPR, Article 6: Right to Life.
5. ICCPR, Article 21: Right to Peaceful Assembly.
6. ICCPR, Article 19: Freedom of Expression.
7. Rome Statute of the International Criminal Court, Article 7, 1998.
8. OHCHR, Remedies and Accountability in Human Rights Violations, 2020.
9. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), Prosecutor v. Delalić (Čelebići case), IT-96-21, 1998 (yurisprudensi tentang command responsibility).
10. Lihat pernyataan KPK dan akademisi tentang urgensi RUU Perampasan Aset, berbagai pemberitaan media nasional 2023–2024.

Pewarta: A. Erolflin
Editor: Firman

Ikuti Kami di :

Pos terkait

banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250banner 300x250

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses